Sabtu, 15 Januari 2011

Askep Serebrovaskuler

ASUHAN KEPERAWATAN SEREBROSVASKULER


A. Pengertian
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovasculer disease) merupakan gangguan neurologi yang sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit serebrovaskuler mencakup semua proses patologi yang mengenai pembuluh darah otak. Cerebrovasculer accident atau yang lebih dikenal dengan istilah stroke merupakan salah satu bentuk gangguan pada sistem neurologi yang sering dijumpai.
Menurut Hudak dan Gallo (1996) stroke adalah defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari cerebrovasculer disease (CVD). Tucker (1998) mendefinisikan stroke sebagai awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral yang disebabkan oleh oklusi dan stenosis pembuluh darah karena embolisme, trombosis atau hemorhagi yang mengakibatkan iskemik otak.
Senada dengan pengertian diatas, Harsono (1999) memakai istilah Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO) atau dikenal sebagai CVA (Cerebrovascular Accident) dengan mendefinisikannya sebagai gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu. Ahli lain mengemukakan bahwa stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner dan Suddarth, 2001).
Lebih lanjut Harsono (1999) mengemukakan bahwa gangguan peredaran darah otak atau stroke ini dibagi menjadi stroke karena perdarahan (stroke hemorhagi) dan stroke bukan karena perdarahan (stroke non hemorhagi).
Satyanegara (1998) menjelaskan bahwa stroke tipe non hemoragik merupakan penyakit yang mendominasi kelompok usia menengah dan dewasa tua yang kebanyakan berkaitan erat dengan kejadian arterosklerosis (trombosis) dan penyakit jantung (emboli) yang dicetuskan adanya faktor predisposisi hipertensi. Menurut Lumbantobing (1994) stroke non hemoragik ini terjadi karena aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian daerah di otak sehingga terjadi iskemik.
Berdasarkan perjalanan klinisnya, ada beberapa istilah yang dikemukakan oleh Satyanegara (1998) dalam stroke tipe ini yaitu Transient Ischemic Attack yang merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan sesaat dari suatu disfungsi serebral lokal akibat gangguan vaskuler, dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling lama 24 jam. Bila tanda dan gejala tersebut berlangsung lebih lama dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga minggu) disebut sebagai Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND).
Gejala gangguan neurologis yang muncul makin lama makin memberat. Hal ini disebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut juga sebagai progressing stroke atau stroke in Evolution. Sebaliknya lesi-lesi yang stabil selama periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya progresivitas lanjut disebut complete stroke (Satyanegara, 1998).
Sedangkan pada stroke hemoragik dijelaskan oleh Lumbantobing (1994) karena adanya dinding pembuluh darah yang robek. Perdarahan yang terjadi dapat meninggikan tekanan di rongga otak dan menyebabkan iskemia di daerah lain yang tidak terlibat perdarahan.
B. Penyebab
Menurut Brunner dan Suddarth (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian, yaitu:
1. Trombosis serebri (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain).
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke otak).
4. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya kehilangan penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen.
Senada dengan Brunner dan Suddarth, Price dan Wilson (1995) mengemukakan bahwa trombosis serebri merupakan penyebab stroke yang paling sering ditemui yaitu pada 40 % dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh ahli patologi. Arteriosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebri. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari (Brunner dan Suddarth, 1995). Mancall (cit. Price dan Wilson, 1995) menambahkan bahwa trombosis serebri merupakan penyakit orangtua. Usia yang paling sering terserang oleh penyakit ini berkisar antara 60 sampai 69 tahun.
Sedangkan pada embolisme serebral terjadi karena adanya abnormalitas patologik pada jantung kiri. Seperti endokarditis infektif penyakit jantung rematik, dan infark miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Iskemia serebral terutama karena konstriksi ateroma yang menyuplai darah ke otak manifestasi paling umum adalah Transient Ischemic Attack (Brunner dan Suddarth, 2001). Satyanegara (1998) menambahkan bahwa stroke akibat emboli serebri biasanya mempunyai onset yang tiba-tiba dan cepat tanpa adanya tanda-tanda peringatan atau peringatan sama sekali klien tiba-tiba terjatuh kolaps dilantai dan lumpuh.
Selain beberapa faktor diatas, menurut Harsono (1999) ada beberapa faktor risiko yang ditemui pada stroke yaitu :
1. Faktor Risiko Utama
a. Hipertensi
Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter pembuluh darah tadi kemudian menganggu kelancaran aliran darah ke otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak.
c. Penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke dikemudian hari seperti penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot jantung dan gangguan irama jantung. Faktor risiko ini pada umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas gumpalan atau sel-sel atau jaringan yang telah mati ke aliran darah.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
Transient Ischemic Attack dapat terjadi beberapa kali dalam 24 jam, atau dapat berkali-kali dalam 1 minggu. Makin sering seseorang mengalami Transient Ischemic Attack ini maka kemungkinan untuk mengalami stroke makin besar.
2. Faktor Risiko Tambahan
a. Kadar lemak darah tinggi
Kadar lemak ini termasuk kolesterol dan trigliserida. Meningginya kadar kolesterol merupakan faktor penting terjadinya aterosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah) dalam hal ini kolesterol darah yang berperan terutama adalah Low Density Lipoprotein (LDL). Peningkatan kadar Low Density Lipoprotein dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan faktor risiko stroke.
b. Obesitas atau kegemukan
c. Merokok
Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang akan mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas darah.
d. Herediter
Lewin et.all (2000) mengemukakan bahwa orang yang mempunyai keluarga dengan riwayat stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA) juga dipertimbangkan mempunyai risiko tinggi terkena stroke.
e. Umur
Insiden stroke meningkat dengan umur yang sampai 75 tahun.
C. Patofisiologi
Dalam kehidupan sehari-hari otak membutuhkan suplai darah yang konstan dimana dalam hal ini semua perubahan-perubahan terkanan perfusi dari sistem sirkulasi sentral dipelihara oleh suatu fenomena autoregulasi. Hal ini diperankan oleh kontraksi otot polos arteri dan arteriol sesuai dengan tekanan luminalnya. Mekanisme secara terperinci (baik melalui distensi mekanik atau reflek neurogenik) masih belum diketahui dengan jelas (Satyanegara, 1999). Hal senada dikemukakan oleh Lewis dkk (2000) yang menyebutkan bahwa aliran darah ke otak harus dipertahankan 750 sampai 1000 mL/menit atau 20 % cardiac output untuk memastikan fungsi serebral yang optimal.
Menurut Hudak dan Gallo (1996) jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus atau embolus maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama satu menit dapat mengarah pada gejala-gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran, kekurangan oksigen dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Lewis dkk (2000) menambahkan bahwa kematian atau infark seluler terjadi bila dalam lima menit otak kekurangan oksigen.
Berkaitan dengan terhambatnya aliran darah ini, Price dan Wilson (1995) mengemukakan bahwa bila aliran darah normal ke suatu bagian tertentu berkurang maka setahap demi setahap dapat terbentuk sirkulasi kolateral. Kebanyakan sirkulasi-sirkulasi kolateral antara aretri-arteri utama adalah melalui sirkulus Willisi. Diduga anomali-anomali di daerah sirkulasi willisi ini dialami hampir setengah populasi. Lewis et.all (2000) berpendapat bahwa anomali-anomali ini meliputi keadaan berkelok-keloknya pembuluh darah, bergulung-gulung, kekakuan dan adanya arterovenous malformations. Anomali-anomali ini bisa menganggu aliran darah ke otak dan merupakan tempat-tempat yang sering menjadi tempat perkembangan penyakit atherosklerosis.
Secara teoritis menurut Price dan Wilson (1995) saluran komunikasi kolateral tersebut sanggup menyediakan darah yang memadai untuk mengaliri semua bagian otak tetapi kenyataannya tidaklah demikian, kalau suatu pembuluh utama seseorang tersumbat, maka mungkin tidak akan timbul gejala apa-apa atau timbul gangguan neurologis yang bersifat sementara. Tetapi pada orang lain mungkin penyumbatan pembuluh yang sama dapat menyebabkan gangguan fungsional yang cukup parah. Perbedaan ini ada kaitannya dengan keadaan sirkulasi kolateral masing-masing individu.
Penyebab penyumbatan berasal dari plak atherosklerosis yang menyebabkan oklusi ditempat arteri serebral yang bertrombus sedangkan pada emboli serebri disebabkan karena suatu embolus yang terlepas dari dinding-dinding arteri yang sklerotik dan berulserasi atau gumpalan trombosit karena fibrilasi atrium. Gumpalan kuman karena endokarditis bakterialis ketika embolus yang mengikuti sirkulasi sampai pada sebuah arteri di serebri yang terlalu sempit dilalui sehingga tersangkut kemudian berhenti di area ini dan membendung aliran darah (Lewis dkk, 2000).
Terjadinya penyumbatan atau gangguan pembuluh darah in akan menyebabkan suplai darah ke bagian tertentu dari otak berkurang atau terhenti sama sekali dan lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik dan infark hemoragik. Adanya lesi pada hemisfer otak ini akan menimbulkan manifestasi defisist neurologis (Brunner dan Suddarth, 2000).


D. Pathway dan Masalah Keperawatan










































Gambar Pathway Stroke (Price dan Wilson, 1995)

E. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges, dkk (1999) fokus pengkajian pada klien dengan stroke antara lain :
1. Aktivitas atau Istirahat
Gejala : Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas akrena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis merasa mudah lelah, susah beristirahat.
Tanda : Gangguan tonus otot (flaksid, spastis): paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi arterial, Dysritmia, perubahan EKG.
3. Integritas Ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.
Tanda : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pada berkemih, seperti Inkontinensia urin, anuria. Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus negatif.
5. Makanan atau cairan
Gejala : Nafsu makan hilang. Mual muntah selama fase akut (peningkatan Tekanan Intra Kranial), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi dan tenggorok, disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda : Kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal, obesitas (faktor risiko).
6. Neurosensori
Gejala : Sinkope atau pusing (sebelum serangan stroke atau selama Transient Ischemic Attack). Gangguan rasa pengecapan dan penciuman, penglihatan menurun, seperti buta total, kehilangan daya lihat sebagian (kebutaan monokuler). Penglihatan ganda atau gangguan yang lain. Sentuhan; hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas dan kadang-kadang pada ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah.
Tanda : status mental atau tingkat kesadaran: biasanya terjadi karena pada awal hemoragis: klien merasa sadar jika penyebabnya adalah trombosis yang bersifat alami; gangguan tingkah laku (seperti letargi, apatis, menyerang). Ekstremitas: kelemahan atau paralisis kontralateral pada semua jenis stroke.
Afasia; baik reseptif atau motorik
Kehilangan kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran dan taktil, kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat klien ingin menggerakkannya.
Ukuran atau reaksi pupil tidak sama.
7. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda.
Tanda : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah.
8. Interaksi sosial
Tanda : Masalah bicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
9. Pernafasan
Gejala : Merokok (faktor risiko)
Tanda : Ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan sulit dan atau tak teratur suara nafas terdengar atau ronchi (aspirasi sekresi).
F. Fokus Intervensi
Fokus intervensi yang dapat diterapkan pada kasus stroke non hemorhagi menurut Doenges et.all (2000) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah sekunder terhadap cedera serebrovaskuler
a. Batasan karakteristik
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, defisit bahasa sensori, intelektual dan emosi, perubahan tanda-tanda vital.
b. Kriteria evaluasi
Klien akan memperlihatkan tanda-tanda adanya perbaikan jaringan serebral dengan kriteria hasil:
1) Mempertahankan tingkat kesadaran atau kesadaran membaik, fungsi kognitif dan sensori membaik.
2) Tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial.
3) Menunjukkan tidak ada kekambuhan defisit atau kelanjutan deteriorasi.
c. Intervensi :
1) Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab penurunan perfusi serebral dan potensial peningkatan Tekanan Intra Kranial.
2) Pantau dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normal.
3) Letakkan kepala pada posisi agak ditinggikan (15o-30o). Hindari mengubah posisi dengan cepat.
4) Pantau tanda-tanda vital.
5) Perhatikan hal berikut :
a) Muntah.
b) Sakit kepala meningkat.
c) Perubahan jelas misalnya letargi, gelisah, nafas kuat, gerakan kacau dan perubahan mental.
6) Pertahankan tirah baring. Ciptakan lingkungan yang tenang.
7) Berikan obat sesuai indikasi: antikoagulasi, antihipertensi, antifibrinolitik.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler; paralise.
a. Batasan karakteristik
Ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinator, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
b. Kriteria evaluasi
Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang lumpuh dengan kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
2) Mempertahankan intergritas kulit.
3) Tidak ada kontraktur.
c. Intervensi :
1) Kaji kemampuan fungsional perawatan diri dengan skala 0-4.
0 : perawatan diri secara penuh.
1 : penggunaan alat bantu.
2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain.
3 : memerlukan bantuan atau pengawasan terus menerus.
4 : bantuan total.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
3) Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas.
4) Inspeksi kulit terutama daerah-daerah yang menonjol secara teratur.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral: kehilangan tonus atau kontrol otot fasia.
a. Batasan karaketristik
Kerusakan artikulasi, tidak dapat bicara, ketidakmampuan menemukan dan menyebutkan kata-kata, ketidakmampuan memahami bahasa tertulis atau ucapan.
b. Kriteria evaluasi
Mampu melakukan komunikasi verbal dengan kriteria hasil.
1) Mengindikasikan pemahaman komunikasi.
2) Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan.
3) Menggunakan sumber-sumber dengan tepat.
c. Intervensi :
1) Kaji tipe atau derajat disfungsi.
2) Bedakan antara afasia dan disartria.
3) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik
4) Mintalah klien untuk mengikuti perintah sederhana.
5) Mintalah klien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “pus”.
6) Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat.
7) Anjurkan keluarga terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi dengan klien.
4. Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi sekunder terhadap stroke dan stres psikologis.
a. Batasan karakteristik
Disorientasi, agnosia, konsentrasi buruk.
b. Kriteria evaluasi
Memperlihatkan perbaikan persepsi sensori dengan kriteria hasil:
1) Memulai atau mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.
2) Mengakui perubahan dalam kemampuan persepsi sensori.
c. Intervensi
1) Lihat kembali proses patofisiologis kondisi individual.
2) Evaluasi adanya gangguan penglihatan, catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan ketajaman, adanya diplopia.
3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan
4) Hilangkan kebisingan/ stimulasi eksternal yang berlebihan dan sesuaikan dengan kebutuhan.
5. Kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
a. Batasan karakteristik
Teramati adanya kesukaran dalam menelan, stasis makanan dalam rongga mulut, batuk tersedak
b. Kriteria evaluasi
Klien akan melaporkan adanya peningkatan kemampuan menelan, dengan kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda dan gejala aspirasi.
2) Mampu mentoleransi makanan dan cairan tanpa tersedak.
c. Intervensi
1) Tetapkan klien terhadap kerusakan menelan atau memastikan.
2) Tempatkan klien duduk atau kepala agak ditinggikan saat makan dan 30 menit setelahnya.
3) Hindari mulut yang terlalu penuh karena hal ini dapat menurunkan keefektifan menelan.
4) Berikan makan dengan lembut dan pastikan gigitan sebelumnya telah ditelan.
6. Kurang perawatan diri: mandi, higiene berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan otot.
a. Batasan karaketristik
Kerusakan kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, ketidakmampuan memandikan bagian tubuh, ketidakmampuan melepaskan atau memasang pakaian.
b. Kriteria evaluasi
Klien bisa mempertahankan atau meningkatkan partisipasi dalam pemenuhan diri dengan kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan diri.
2) Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
c. Intervensi :
1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk mealkuakn kebutuhan sehari-hari.
2) Berikan bantuan sesuai kebutuhan.
3) Letakkan sesuatu yang dibutuhkan klien pada sisi yang tidak sakit.
4) Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
7. Harga diri rendah berhubungan dalam perubahan biofisik, psikologis dan perseptual kognitif.
a. Batasan karakteristik
Perasaan negatif tentang tubuh, tidak menyentuh atau melihat pada bagian yang sakit
b. Kriteria evaluasi
Peningkatan harga diri dan bertambahnya rasa percaya diri dengan kriteria hasil:
1) Bicara atau komunikasi dengan orang terdekat.
2) Mengungkapkan penerimaan diri sendiri dalam sehari siruasi krisis.
3) Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri tentang cara yang akurat tanpa menimbulkan harga diri negatif.
c. Intervensi :
1) Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
2) Identifikasi arti kehilangan atau disfungsi atau perubahan pada klien.
3) Beri semangat klien untuk mengungkapkan perasaan.
4) Berikan dukungan terahdap perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi klien dalam kegiatan rehabilitasi.
5) Rujuk pada evaluasi neuropsikologis sesuai kebutuhan.
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai rencana perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
a. Batasan karakteristik
Meminta informasi, pernyataan kesalahan informasi.
b. Kriteria evaluasi :
Peningkatan pengetahuan terhadap kondisi dan rencana perawatan dengan kriteria hasil :
1) Berpartisipasi dalam proses belajar.
2) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan… terapeutik.
3) Merubah gaya hidup yang diperlukan.
c. Intervensi :
1) Evaluasi tipe atau derajat dari gangguan persepsi sensori.
2) Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan keadaan yang ada pada individu.
3) Tinjau ulang atau pertegas kembali pengobatan yang diberikan.
4) Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang.
5) Identifikasi faktor-faktor risiko secara individual (seperti hipertensi, kegemukan, merokok, aterosklerosis, penggunaan kontrasepsi oral dan perubahan pada hidup yang penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket