Senin, 03 Januari 2011

Askep Hernia

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HERNIA

A. PENGERTIAN
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidajat, 1997, hal 700).
Hernia adalah penonjolan serat atau ruas organ atau jaringan melalui lubang yang abnormal (Dorlan, 1994,hal 842)
Hernia adalah keluarnya bagian dalam dari tempat biasanya. Hernia scrotal adalah burut lipat pada laki-laki yang turun sampai ke dalam kantung buah zakar (Laksman, 2002, hal 153).
Hernia scrotalis merupakan hernia inguinalis lateralis yang mencapai scrotum. ( Sjamsuhidajat, 1997, hal 717 )
Post adalah awalan yang menyatakan setelah atau di belakang. (Dorlan, 1994,hal 1477)
Operasi merupakan pembedahan, setiap tindakan yang dikerjakan oleh ahli bedah, khususnya tindakan yang memakai alat-alat. (Ramali dan Pamoentjak, 2000, hal 244)
Dextra merupakan istilah yang menyatakan sesuatu yang berada disebelah kanan dari dua struktur yang serupa atau yang berada disebelah kanan tubuh. (Dorlan, 1994,hal 517)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post operasi hernia scrotalis dextra adalah hernia inguinalis lateralis dimana penonjolan serat atau ruas organ atau jaringan yang melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan mencapai scrotum bagian kanan dan telah dilakukan tindakan pembedahan oleh ahli bedah.

B. KLASIFIKASI
Menurut Sachdeva ( 1996, hal 232-234) menklasifikasikan hernia sebagai berikut ;
1. Hernia Reponiblis
Hernia yang dapat masuk kembali ketika penderita tidur terlentang atau dapat dimasukkan oleh penderita atau ahli bedah.
2. Hernia Ireponiblis
Apabila isinya tidak dapat dikembalikan ke dalam abdomen dan tidak tampak adanya komplikasi.
3. Hernia Obstruksi
Merupakan hernia ireponiblis yang berisi usus dimana lumennya mengalami onstruksi dari luar atau adanya gangguan suplai darah dari usus.
4. Hernia Strangulasi
Hernia akan mengalami strangulasi bila suplai darah terhadap isinya sangat terganggu yang dapat mengakibatkan gangren.
Adapun tindakan yang digunakan untuk mengatasi hernia ada 2 macam yaitu;
1. Tindakan konservatif
Yaitu tindakan dengan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia.
2. Tindakan definitive
Tindakan definitive untuk mengatasi hernia berupa operasi yang dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal. Dengan melakukan insisi pada garis linear di atas kanalis inguinalis yaitu 1 inci diatas dan sejajar terhadap 2/3 medial ligamentum inguinalis. Adapun prinsip dasar operasi hernia terdiri dari Herniotomi dan Herniorapi.
a. Herniotomi
Merupakan operasi pemotongan untuk memperbaiki hernia.
b. Herniorapi
Herniorapi yaitu dengan melakukan perbaikan pada dinding posterior tanpa menggunakan bahan asesoris. Apabila dalam melakukan perbaikan dinding posterior menggunakan bahan asesoris maka disebut dengan Hernioplasti.

C. ETIOLOGI
Hernia scrotalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat (akuistik), hernia dapat dijumpai pada setiap usia, prosentase lebih banyak terjadi pada pria, berbagai faktor penyebab berperan pada pembukaan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantung dan isi hernia, disamping itu disebabkan pula oleh faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dapat dipandang berperan kausal adalah adanya peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia, jika kantung hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum disebut hernia scrotalis.(Sjamsuhidajat , Jong, 1997, hal 706)
Penyebab lain yang memungkinkan terjadinya hernia adalah:
1. Hernia inguinalis indirect, terjadi pada suatu kantong kongenital sisa dan prosesus vaginalis.
2. Kerja otot yang terlalu kuat.
3. Mengangkat beban yang berat.
4. Batuk kronik.
5. Mengejan sewaktu miksi dan defekasi.
6. Peregangan otot abdomen karena meningkatkan tekanan intra abdomen (TIA) seperti: obesitas dan kehamilan.
Indikasi pelaksanaan operasi adalah pada semua jenis hernia, hal ini dikarenakan penggunaan tindakan konservatif hanya terbatas pada hernia umbilikalis pada anak sebelum usia dua tahun dan pada hernia ventralis. Tindakan operasi dilakukan pada hernia yang telah mengalami stadium lanjut yaitu;
1. Mengisi kantong scrotum
2. Dapat menimbulkan nyeri epigastrik karena turunnya mesentrium.
3. Kanalis inguinalis luas pada hernia tipe ireponibilis.
Pada hernia reponibilis dan ireponibilis dilakukan tindakan bedah karena ditakutkan terjadinya komplikasi, sedangkan bila telah terjadi strangulasi tindakan bedah harus dilakukan secepat mungkin sebelum terjadinya nekrosis usus.
(Sachdeva, 1996, hal 235 – 236 ; Mansjoer, 2000, hal 315)

D. PATOFISIOLOGI
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut, akan menarik perineum ke daerah scrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei, pada bayi yang baru lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut, namun dalam beberapa hal seringkali kanalis ini tidak menutup karena testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka, bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga terbuka dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.
Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi) akan timbul hernia inguinalis lateralis congenital. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup namun karena merupakan lokus minoris persistence, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat, kanalis tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateral akuisita. Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal adalah kehamilan, batuk kronis, pekerjaan mengangkat beban berat, mengejan pada saat defekasi, miksi misalnya pada hipertropi prostate.
Apabila isi hernia keluar melalui rongga peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior kemudian hernia masuk ke dalam hernia kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus, dan bila berlanjut tonjolan akan sampai ke scrotum yang disebut juga hernia scrotalis.
Tindakan bedah pada hernia dilakukan dengan anestesi general atau spinal sehingga akan mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yang berpengaruh pada tingkat kesadran, depresi pada SSP juga mengakibatkan reflek batuk menghilang. Selain itu pengaruh anestesi juga mengakibatkan produksi sekret trakeobronkial meningkat sehingga jalan nafas terganggu, serta mengakibatkan peristaltik usus menurun yang berakibat pada mual dan muntah, sehingga beresiko terjadi aspirasi yang akan menyumbat jalan nafas.
Prosedur bedah akan mengakibatkan hilang cairan, hal ini karena kehilangan darah dan kehilangan cairan yang tidak terasa melalui paru-paru dan kulit. Insisi bedah mengakibatkan pertahanan primer tubuh tidak adekuat (kulit rusak, trauma jaringan, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh), luka bedah sendiri juga merupakan jalan masuk bagi organisme patogen sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi infeksi.
Rasa nyeri timbul hampir pada semua jenis operasi, karena terjadi torehan, tarikan, manipulasi jaringan dan organ. Dapat juga terjadi karena kompresi / stimulasi ujung syaraf oleh bahan kimia yang dilepas pada saat operasiatau karena ischemi jaringan akibat gangguan suplai darah ke salah satu bagian, seperti karena tekanan, spasmus otot atau hematoma.
(Mansjoer, 2000, hal 314 ; Sjamsuhidajat,1997, hal 704 ; Long,1996, hal 55 – 82).

E. MANIFESTASI KLINIK
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha, benjolan tersebut bisa mengecil dan menghilang pada saat istirahat dan bila menangis, mengejan, mengangkat beban berat atau dalam posisi berdiri dapat timbul kembali, bila terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri, keadaan umum biasanya baik pada inspeksi ditemukan asimetri pada kedua sisi lipat paha, scrotum atau pada labia dalam posisi berdiri dan berbaring pasien diminta mengejan dan menutup mulut dalam keadaan berdiri palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya dan coba didorong apakah benjolan dapat di reposisi dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak, kadang cincin hernia dapat diraba berupa annulus inguinalis yang melebar.
Pemeriksaan melalui scrotum, jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum, ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk, bila masa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka itu adalah hernia inguinalis medialis (Mansjoer, 2000, hal 314 ; Kusala, 2007, http://www.kalbe.co.id/files)
Pada umumnya terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional. Beberapa masalah yang sering terjadi pada fase post operasi antara lain; kesadaran menurun, sumbatan saluran nafas, hipoventilasi, hipotensi , aritmi cardiak, shock, nyeri, distensi kandung kencing, cemas, aspirasi isi lambung.
Tindakan operatif dilakukan dengan melakukan insisi pada tubuh sehingga tubuh memerlukan waktu untuk penyembuhan luka. Luka bedah karena dilakukan dengan disertai teknik asepsis pada umumnya penyembuhannya lancar dan cepat.
Ada empat fase penyembuhan luka; fase I penyembuhan luka, lekosit mencerna bakteri dan jaringan rusak. Fibrin tertumpuk pada gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang fibrin sebagai kerangka. Luka kekuatannya rendah tapi luka yang dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Pasien akan terlihat dan merasa sakit pada fase ini yang berlangsung selama 3 (tiga) hari.
Fase II berlangsung 3 – 14 hari setelah pembedahan. Lekosit mulai menghilang, semua lapisan epitel mulai beregenerasi selengkapnya dalam 1 (satu) minggu. Jaringan baru memiliki sangat banyak jaringan vaskuler, jaringan ikat berwarna kemerah-merahan karena banyak pembuluh darah dan mudah terjadi perdarahan, pasien akan terlihat lebih baik. Tumpukan kolagen serabut protein putih akan menunjang luka dengan baik dalam 6 – 7 hari. Jadi jahitan diangkat pada waktu ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
Pada fase III kolagen terus bertumpuk. Hal ini akan menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas. Pada fase ini yang kira-kira berlangsung dari minggu ke dua sampai minggu ke enam post operasi, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
Fase terakhir, fase ke IV berlangsung beberapa bulan post operasi. Pasien akan mengeluh gatal diseputar luka. Kolagen terus menimbun pada waktu ini, luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur.
(Long,1996, hal 70 – 86)

F. KOMPLIKASI
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi (lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses local, fistel atau peritonitis.
Sedangkan komplikasi operasi hernia dapat berupa cidera vena femoralis, nervus ilioinguinalis, nervus iliofemoralis, duktus deferens, atau buli-buli bila masuk pada hernia geser. Nervus ilioinguinalis harus dipertahankan sejak dipisahkan karena jika tidak, maka dapat timbul nyeri pada jaringan parut setelah jahitan dibuka.
Komplikasi dini setelah operasi dapat pula terjadi, seperti hematoma, infeksi luka, bendungan vena, fistel urine atau feses, dan residif. Komplikasi lama merupakan atrofi testis karena lesi arteri spermatika atau bendungan pleksus pampiniformis, dan yang paling penting, terjadinya residif (kekambuhan). Insiden dari residif begantung pada umur pasien, letak hernia, teknik yang digunakan dalam pembedahan dan cara melakukannya.
(Sjamsuhidajat, 1997, hal 718-719)

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksasaan darah
a. Lekosit ; peningkatan jumlah lekosit mengindikasikan adanya infeksi.
b. Hemoglobin ; Hemoglobin yang rendah dapat mengarah pada anemia/kehilangan darah.
c. Hematokrit ; peningkatan hematokrit mengindikasikan dehidrasi
d. Waktu koagulasi ; Mungkin diperpanjang, mempengaruhi hemostasis intraoperasi/pascaoperasi.
2. Urinalisis
BUN, Creatinin, munculnya SDM atau bakteri mengindikasikan infeksi.
3. GDA
Mengevaluasi status pernafasan terakhir.
4. EKG
Untuk mengetahui kondisi jantung.










H. PATHWAYS KEPERAWATAN










I. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Status Respiratori
Kebebasan saluran nafas, kedalaman bernafas, kecepatan, sifatnya. Bunyi nafas : ada dan sifatnya.
b. Status Sirkulatori
Nadi, tekanan darah, suhu, warna kulit, pengisian kapiler.
c. Status Neurologis
Tingkat kesadaran, penurunan tingkat kesadaran merupakan gejala shock dan harus segera dilaporkan kepada ahli bedah dan disertai gejala lain yang jelas.
d. Balutan
Keadaan balutan, terdapat drain, terdapat selang yang harus disambung dengan system drainase.
e. Kenyamanan
Terdapat nyeri, mual, muntah, sikap tidur yang nyaman dan memperlancar ventilasi.
f. Keamanan
Terdapat pengaman pada tempat tidur, alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester, larutan. Munculnya proses infeksi ; demam.
(Long, 1996, hal 60)

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi trakeobronkial sekunder terhadap efek anestesi; batuk tidak efektif sekunder terhadap depresi SSP atau nyeri dan splinting otot.
Kriteria Hasil :
1) Jalan napas pasien bersih, ditandai dengan bunyi napas normal pada auskultasi.
2) RR : 12 – 20 X / menit dengan kedalaman dan pola normal.
Intervensi :
1) Pertahankan jalan nafas pasien dengan meletakkan pasien pada posisi yang sesuai.
Rasional : Mencegah obstruksi jalan nafas. Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
2) Observasi frekwensi, kedalaman pernafasan dan pemakaian otot bantu pernafasan.
Rasional : Dliakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.
3) Observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot-otot pernafasan .
Rasional : Setelah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intraoperatif, pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada diafragma, otot interkostal, yang akan diikuti dengan relaksasi kelompok otot–otot utama seperti leher, bahu, dan otot–otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, faring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut wajah dan jari – jari tangan.
4) Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan
Rasional : Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorokan atau trakea.
5) Kolaborasi pemberian tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
Rasional : dilakukan untuk meningkatkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb.

b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan kompresi syaraf, prosedur bedah.
Kriteria hasil:
1) Melaporkan nyeri hilang dan terkontrol.
2) mengungkapkan metode yang memberi penghilangan.
3) mendemonstrasikan penggunaan intervensi terapeutik.
Intervensi:
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi lamanya serangan, faktor pencetus atau yang memperberat
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapy.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi atau posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan.
4) Instruksikan pada pasien untuk melakukan teknik relaksasi atau visualisasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dalam pemberian therapy
Rasional : Intervensi cepat dan mempercepat proses penyembuhan.

c. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah pembentukan hematoma.
Kriteria hasil:
Melaporkan atau mendemonstrasikan situasi normal.

intervensi:
1) Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologist secara periodik
Rasional : Penurunan atau perubahan mungkin mencerminkan resolusi edema, inflamasi sekunder.
2) Pertahankan pasien dalam posisi terlentang sempurna selama beberapa jam
Rasional : Penekanan pada daerah operasi dapat menurunkan resiko hematoma.
3) Pantau tanda-tanda vital, catat kehangatan, pengisian kapiler
Rasional : Perubahan kecepatan nadi mencerminkan hipovolemi akibat kehilangan darah, pembatasan pemasukan oral, mual, muntah.
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan atau darah sesuai indikasi
Rasional : Terapi cairan pengganti tergantung pada derajat hipovolemi.
d. Koping individu tidak efektif (ansietas) sehubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil:
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.
2) Mengkaji situasi terbaru dengan akurat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani masalahnya sebelumnya dan sekarang
Rasional : Mengidentifikasi keterampilan untuk mengatasi keadaannya sekarang.
2) berikan informasi yang akurat
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan pada pengetahuannya.
3) berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Kebanyakan pasien mengalami permasalahan yang perlu diungkapkan dan diberi respon.
4) Catat perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit pasien
Rasional : Orang terdekat mungkin secara tidak sadar memungkinkan pasien untuk mempertahankan ketergantungannya.
e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri, spasme otot.
Kriteria hasil:
Mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individual.
Intervensi:
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena, jenis prosedur yang kurang hati-hati akan meningkatkan kerusakan.
2) Catat respon emosi atau perilaku pada saat immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Immobilitas yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka terhadap rangsang.
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi dan berkembang sesuai dengan toleransi.
4) Ikuti aktivitas atau prosedur dengan periode istirahat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan membentuk kekuatan otot.
5) Berikan atau Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif, pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.

f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat ; prosedur infasif, insisi bedah.
Kriteria Hasil :
Meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat, bebas dari eritema dan tidak demam.
Intervensi :
1) Tekankan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
2) Pertahankan teknik aseptik pada penggantian balutan dan prosedur infasif.
Rasional : Menurunkan resiko masuknya bakteri.
3) Monitor tanda-tanda vital, insist dan balutan, catat karakteristik luka, adanya eritema.
Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi.
4) Ganti balutan sesuai indikasi.
Rasional: Balutan kotor memberikan media bagi pertumbuhan bakteri.
5) Kolaborasi pemberian antibiotik.
Rasional : Untuk menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya), untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya.

g. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (prosedur medis/adanya rasa mual); kehilangan darah selama pembedahan.
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, tanda – tanda vital stabil, turgor normal, mukosa lembab, pengeluaran urine sesuai.
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.

2) Periksa pembalut terhadap terjadinya perdarahan, kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
Rasional : Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia.
3) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : Kulit yang dingin dan lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
4) Kolaborasi pemberian cairan sesuai petunjuk, tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.
Rasional : Menggantikan kehilangna cairan.
5) Pantau hasil laboratorium, misalnya Hb, Ht.
Rasional : Indikator hidrasi/volume sirkulasi.
h. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan muntah, mual, gangguan peristaltik usus
Kriteria hasil:
1) Meningkatkan masukan oral.
2) Menjelaskan faktor penyebab apabila diketahui.
Intervensi:
1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional : Mencukupi kalori sesuai kebutuhan, memudahkan menentukan intervensi yang sesuai dan mempercepat proses penyembuhan.
2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat, negosiasikan dengan klien tujuan masukan untuk setiap kali makan dan makan makanan kecil
Rasional : Pasien dapat mengontrol masukan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan, yang digunakan sebagai cadangan energi yang untuk beraktivitas.
3) Timbang berat badan dan pantau hasil laboratorium
Rasional : Dapat digunakan untuk memudahkan melakukan intervensi yang akurat dan sesuai dengan kondisi klien.
4) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan mulut secara teratur pantau pasien dalam melakukan personal hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan memberi kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi.
5) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan ketidaknyamanan yang dapat menyebabkan mual, muntah, dan mengurangi nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi yang sesuai meningkatkan masukan oral.

i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil:
Menuturkan pemahaman kondisi, efek prosedur dan pengobatan, memulai perubahan gaya hidup.
Intervensi:
1) Kaji ulang pemahaman pasien tentang diagnosis, prosedur bedah, rutinitas praoperasi dan regimen pasca operasi.
Rasional : Beberapa orang merasakan informasi yang lengkap sangat membantu; sedang yang lain lebih menyukai penjelasan yang singkat dan sederhana.
2) Tinjau ulang dan minta orang terdekat untuk menunjukan perawatan luka atau balutan jika diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan kompetensi perawatan diri dan meningkatkan kemandirian.
3) Tinjau ulang penghindaran faktor-faktor resiko, misalnya pemajanan pada lingkungan.
Rasional : Mengurangi potensial infeksi yang diperoleh.
4) Sebelum pasien dipulangkan, ajarkan tindakan pencegahan terhadap aktivitas, istirahat maksimal, diit yang haurs dijalani.
Rasional : Informasi yang cukup memberikan pemahaman yang adekuat bagi pasien untuk mendukung proses pengobatan.
(Doengoes, 2000; Swearingen,2001)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket