Selasa, 18 Januari 2011

Asuhan Keperawatan Sirosis Hepatis

ASUHAN KEPERAWATAN
SIROSIS HEPATIS

     Definisi :
Adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai dengan dodul.
      Etiologi :
Belum jelas
      Faktor penyebab :
Alkoholik
Infeksi
Malnutrisi
Kongesti
Dll

      Klasifikasi :

1. Morfologi:
a. Mikronoduler – Adanya septa tipis.
b. Makronoduler – Sirosis pasca necrotic.
c. Campuran sirosis mikro dan makro noduler.

Asuhan Keperawatan Kateter CVP

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PEMAKAIAN KATETER CVP

I. PENGERTIAN
Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di atrium kanan atau vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena central dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan hanya tekanan lokal.

II. LOKASI PEMANTAUAN
Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis

Asuhan Keperawatan Gagal Nafas

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS

I. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana  pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

Asuhan Keperawatan Fraktur Cervicalis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR CERVICALIS

1. Pengertian
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).

2. Patofisiologis dikaitkan dengan KDM

1. Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang
a. Jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga
Mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif
Dan dislokasi, sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
Kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan

Asuhan Keperawatan Tumor; Neoplasma

ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR (NEOPLASMA)

A. Pengertian 
Menurut Reksoprodjo (1996) tumor (neoplasma) didefinisikan sebagai penyakit pertumbuhan sel-sel baru yang tidak terbatas, tidak ada koordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologisnya. Senada dengan pendapat di atas, Tjarta (1991) mengemukakan neoplasma adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus-menerus secara tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh.
Ahli lain berpendapat bahwa tumor adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi (Price, et. all, cit.Abrams, 1995). Pengertian lain tumor adalah pembengkakan yang disebabkan oleh macam-macam kondisi, seperti karena inflamasi atau kuman (Long, cit.Zack, et. all, 1996).
Sedangkan menurut Willis (1995) menyatakan bahwa neoplasma adalah massa jaringan abnormal dengan pertumbuhan berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal, dan tetap tumbuh dengan cara berlebihan setelah stimulus yang menimbulkan perubahan tersebut berhenti.

Senin, 17 Januari 2011

Asuhan Keperawatan Spondilitis Tuberculosa

ASUHAN KEPERAWATAN SPONDILITIS TUBERCULOSA

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994;  144 ) 
2. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah.
a. Anatomi dan fisiologi 
Kolumna vertebra atau rangkaian tulang belakang adalah pilar mobile melengkung yang kuat sebagai penahan tengkorak, rongga  thorak, anggota gerak atas, membagi berat badan ke anggota gerak bawah dan melindungi medula spinalis. ( John Gibson MD, 1995 : 25 )
Kolumna vertebra terdiri dari beberapa tulang vertabra yang di hubungkan oleh diskus Intervertebra dan beberapa ligamen. Masing - masing vertabra di bentuk oleh tulang Spongiosa yang diisi oleh sumsum merah dan ditutupi oleh selaput tipis tulang kompakta.

Asuhan Keperawatan Post Operasi Tutup Kolostomi

ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI TUTUP KOLOSTOMI

Post operasi tutup kolostomi merupakan suatu rangkaian tindakan pembedahan pada post kolostomi sementara.

Perjalanan dan riwayat tindakan.
Klien yang mengalami kelainan pada usus seperti: obstruksi usus, kanker kolon, kolitis ulceratif, penyakit Divertikuler akan dilakukan pembedahan yang disebut dengan kolostomi yaitu lubang dibuat dari segmen kolon (asecenden, transversum dan sigmoid). Lubang tersebut ada yang bersifat sementara dan permanen. Kolostomi asenden dan transversum bersifat sementara , sedangkan kolostomi sigmoid bersifat permanen.

Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan .

Berdasarkan lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Single barreled stoma, yaitu dibuat dari bagian proksimal usus. Segmen distal dapat dibuang atau ditutup.
2. Double barreled, biasanya meliputi  kolon transversum. Kedua ujung dari kolon yang direksesi dikeluarkan melalui dinding abdominal mengakibatkan dua stoma. Stoma distal  hanya mengalirkan mukus dan stoma proksimal mengalirkan feses.

Intoksikasi Insektisida Fosfat Organik

INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK (IFO)

Pengertian umum :
Pestisida adalah semua yang dipakai untuk membasmi hama, antara lain terdiri dari :
a. Insektisida : Khusus untuk serangga
b. Rodentisida   : Untuk membasmi tikus
c. Herbisida : Untuk membasmi tanaman pengganggu.

Dua macam insektisidayang paling banyak dipakai :
1. Insektisida hidrokarbon khorin (HK = Chlorida hydrocarbon)
2. Insektisida fosfat organik (IFO =organo phosphate insectiside)

Sifat-sifat IFO
Insektisida penghambat kholin esterase (cholinesterase inhibitor insecticide) merupakan insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Dapat menembus kulit yang normal, dapat diserap lewat paru dan saluran makanan, tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.

Asuhan Keperawatan Hernia Scrotalis

ASUHAN KEPERAWATAN HERNIA SCROTALIS

A. PENGERTIAN
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidajat, 1997, hal 700).
Hernia adalah keluarnya bagian dalam dari tempat biasanya. Hernia scrotal adalah burut lipat paha pada laki-laki yang turun sampai ke dalam kantung buah zakar (Laksman, 2002, hal 153).
Hernia scrotalis adalah hernia yang melalui cincin inguinalis dan turun ke kanalis pada sisi funikulus spermatikus pada bagian anterior dan lateral, yang dapat mencapai scrotum, hernia ini disebut juga hernia inguinalis indirect (Sachdeva, 1996, hal 235).

B. ETIOLOGI
Hernia scrotalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat (akuistik), hernia dapat dijumpai pada setiap usia, prosentase lebih banyak terjadi pada pria, berbagai faktor penyebab berperan pada pembukaan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantung dan isi hernia, disamping itu disebabkan pula oleh faktor y

Asuhan Keperawatan Fraktur Os Mandibularis

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR OS. MANDIBULARIS

II. DEFINISI 
Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma  baik secara langsung atau tidak langsung.

III. PATOFISIOLOGI
A. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
Osteoporosis Imperfekta
Osteoporosis
Penyakit metabolik
1.
2. TRAUMA
Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

Asuhan Keperawatan Dengue Hemoraghic Fever; DHF

ASUHAN KEPERAWATAN DENGUE HAEMORRAGIC FEVER

A. PENGERTIAN
Demam berdarah dengue atau haemorrogicfever adalah penyaki infeksi akut yang disebabkan oleh viru dengue (Albovirus) dan ditularkan oleh nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus.

B. PENYEBAB
Virus dengue tergolong famili/grup Flavividae yang dukenal ada 4 Serotipe, yaitu Den-1, Deb-2,Den-3,dan Den-4. Den- dan Den-3 merupakan serotype yang paling banyak diketemukan sebagai penyebab.

C. TANDA DAN GEJALA
a. Kriteria Klinis Deferensial
- Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
- Demam yang berlangsung hanya beberapa hari

Asuhan Keperawatan Aritmia Jantung

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARITMIA

A. Definisi
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999). Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).

B. Etiologi
Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi)
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya

Asuhan Keperawatan Angina Pektoris

 ASUHAN KEPERAWATAN ANGINA PEKTORIS

A. PENGERTIAN
1. Angina pektoris adalah nyeri dada yang ditimbukan karena iskemik miokard dan bersifat sementara atau reversibel.  (Dasar-dasar keperawatan kardiotorasik, 1993)
2. Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana klien mendapat serangan sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan segera hilang bila aktifitas berhenti.  (Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer, 1996)
3. Angina pektoris adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis rasa tidak nyaman yang biasanya terletak dalam daerah retrosternum. (Penuntun Praktis Kardiovaskuler)

Minggu, 16 Januari 2011

Askep Empiema

ASUHAN KEPERAWATAN EMPIEMA



A. DEFINISI
Emphiema thoraksis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada kavitas pleural (Brunner and Suddart, 2000). Emphiema thorak juga dapat berarti adanya proses supuratif pada rongga pleura.

B. ETIOLOGI
1. Infeksi yang berasal dari dalam paru :
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel Bronko-Pleura
2. Infeksi yang berasal dari luar paru :
a. Trauma Thoraks
b. Pembedahan thorak
c. Torasentesi pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses

C. PATHOFISIOLOGI DAN PATHWAYS
Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut.

Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema nesessitasis. Emphiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema akut dapat berlanjut ke kronis. Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan proses ini berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.

PATHWAYS


D. TANDA DAN GEJALA
1. Emphiema akut
Panas tinggi dan nyeri pleuritik
Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura
Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan clubbing finger
Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural
Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali

2. Emphiema kronis
Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan
Badan lemah, kesehatan semakin menurun
Pucat, clubbing finger
Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura
Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kea rah yang sakit
Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Foto thorak
b. Tes kultur dan kepakaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura

F. KOMPLIKASI
Fistel Bronko pleura
Syok
Sepsis
Gagal jantung kongesti

G. PENATALAKSANAAN
Pengosongan nanah
Antibiotika
Penutupan rongga emphiema
Pengobatan kausal
Pengobatan tambahan

H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Biodata
b. Riwayat kesehatan : pernah mengalami pembedahan thorak, menderita abses paru, TBC, Pneumonia
c. Data obyektif :
Suhu tubuh diatas normal saat inflamasi akut pleura
Perkusi paru redup
Tidur miring kea rah yang sakit
Pernafasan cupping hidung
Ekspansi dada asimetri
Penurunan atau tidak terdengar bunyi nafas diatas area yang terkena
Batuk produktif
Malaise
Keletihan
Takikardia, takipnea
Foto dada
Torasentesis
GDA : Pa O2

d. Data subjektif :
Mengeluh sesak nafas
Nyeri daerah dada yang mengalami pleuritis
Nyeri pada daerah insisi post pemasangan WSD

I. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan ketidakedekuatan ekspansi dada (penumpukan udara/cairan)
Intervensi :
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan
Perhatikan gerakan dada dan posisi trakea, auskultasi bunyi nafas setiap 2 jam sampai 4 jam
Yakinkan dan cobalah menenangkan pasien. Baringkan pasien dalam posisi untuk mendapatkan pernafasan optimal dalam posis duduk dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-70 derajat
Berikan terapi oksigen via kanul dengan 2-6 L/mnt sesuai pesanan kecuali ada kontra indikasi
Monitor tanda-tanda vital setiap 2-4 jam
Hindari peregangan, atau gerakan yang mendadak. Berikan dukungan emosional, tetaplah bersama pasien setelah periode ansietas tinggi.
Teruskan dengan perawatan akut dan mengurangi fungsi perawat sejalan dengan peningkatan kondisi pasien

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
Intervensi :
Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksemia
Pantau hasil pemeriksaan gas darah arteri
Observasi terhadap tanda penurunan upaya pernafasan
Observasi terhadap ekspansi dada yang tidak seimbang
Berikan tambahan oksigen sesuai dengan pesanan, Bantu dengan intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanik sesuai yang diperlukan
Pantau fungsi dan patensi selang dada. Berikan waktu istirahat untuk mengurangi kebutuhan oksigen

3. Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis ( trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Intervensi :
Kaji terhadap adanya nyeri (verbal dan non verbal)
Berikan anlgetik sesuai pesanan
Kaji efektifitas tindakan penurunan rasa nyeri
Berikan obat pada pasien sebelum latihan batuk/bernafas. Instruksikan pasien untuk teknik pembebatan
Amankan selang dadauntuk membatasi gerakan dan menghindari gesekan

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan mandiri
Intervensi :
Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit dan factor-faktor yang mempengaruhi
Jelaskan pentingnya untuk melakukan latihan sesuai dengan toleransi, untuk menghindari keletihan dan istirahat sesuai dengan rencana
Jelaskan pentingnya untuk menghindari aktifitasatau latihan yang memberikan stress, terutama olah raga kontak fisik. Jelaskan pentingnya untuk tidak merokok
Jelaskan pentingnya untuk menghindari orang yang sedang terkena infeksi terutama ISPA, Jelaskan pentingnya perawatan rawat jalan yang berkelanjutan
Diskusikan mengenaigejala yang harus dilaporkan kepada dokter
Diskusikan mengenai program pengobatan



Askep Pemfigus

ASUHAN KEPERAWATAN PEMFIGUS


A. PENGERTIAN
Pemfigus adalah penyakit kulit yang jarang terjadi yang ditandai dengan adanya lepuhan-lepuhan (bula) dengan berbagai ukuran pada permukaan kulit dan selaput lendir (selaput mulut, vagina, penis dan selaput lendir lainnya). (medicastore.com)
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai oleh timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang tampak normal dan membran mukosa (misalnya mulut, vagina).

B. ETIOLOGI
Pemfigus Vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang protein tertentu dipermukaan kulit dan selaput lendir, antibodi ini menimbulkan suatu reaksi yang menyebabkan pemisahan sel-sel epidermis kulit (akantolosis), penyebab yang pasti dari pembentukan antibodi yang melawan jaringan tubuhnya sendiri tidak diketahui, beberapa kasus terjadi karena adanya reaksi terhadap obat. (Penicilinamin, Katropil)

C. PATOFISIOLOGI
Karena penyebab yang pasti dari pembentukan antibodi yang melawan jaringan tubuhnya belum diketahui sendiri tetapi yang disebabkan karena reaksi obat seperti penicilinamin dan katropil, obat tersebut bagi tubuh dianggap sebagai antigen / zat asing dalam tubuh sehingga sistem kekebalam tubuh terutama imunoglobulin G mengadakan suatu reaksi terhadap antigen dimana reaksi tersebut merusak protein tertentu dipermukaan kulit dan selaput lendir dan menyebabkan lepuhan-lepuhan pada kulit.

D. SIGNS / SYMTOMS
Ciri utama dari pemfigus adalah lepuhan lembut berisi cairan dengan berbagai ukuran, bentuknya irreguler, terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bila lepuhan tersebut pecah meninggalkan daerah erosi yang lebar serta nyeri yang disertai dengan pembentukan krusta dan perembesan cairanm bau dari cairan tersebut menusuk dan keras.
Lepuhan sering muncul pertama kali dimulut lalu pecah dan membentuk luka terbuka yang menimbulkan nyeri, kemudian akan muncul lepuhan dan luka lainnya sampai seluruh lapisan mulut terkena. Hal yang sama juga terjadi pada kulit. Lepuhan pertama kali muncul pada kulit yang normal lalu pecah dan meninggalkan luka keropeng yang kasar, lepuhan bisa menyebar luas dan lepuhan yang pecah bisa mengalami infeksi.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pemfigus vulgaris terjadi ketika proses penyakit tersebut menyebar luas, sebelum ditemukannya kortikosteroid dan terapi imunosupresif pasien sangat rentan terhadap infeksi bakteri sekunder, bakteri kulit relatif mudah mencapai lepuhan pada saat lepuhan pecah dan rembesan cairan dan meninggalkan daerah terkelupas yang terbuka terhadap lingkungan.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi akibat kehilangan cairan serta protein ketika lepuhan pecah. Hipoalbunemia sering dijumpai kalau proses penyakitnya mencapai permukaan tubuh dan membran mukosa yang lebih luas.

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan Pengobatan :
1. Menghentikan pembentukan lepuhan (bula) yang baru yaitu dilakukan dengan cara penekanan parsial terhadap sistem imun tubuh dengan obat kortikosteroid peroral dengan efek samping tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi, obat lainnya yang bisa menekan sistem imun : methotrexat, lyclophosphamide, azothioprin, garam emas.
2. Tujuan lain dari terapi tadi mencegah hilangnya serum dan terjadinya infeksi sekunder dan meningkatkan pembentukan ulang epitelkulit untuk itu kortikosteroid diberikan dalam dosis yang tinggi samapi kesembuhan yang jelas pada sebagian besar kasus, terapi kortikosteroid harus dipertahankan seumur hidup penderitanya.



BAB II
KONSEP KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
- Kaji keadaan kelainan kulit yang muncul seperti timbulnya lepuhan / bula , warna, luas, lokasi , keluhan seperti nyeri.
- Kaji tingkat umur penderita (pemfigus sering terjadi pada usia pertengahan/usia lanjut).
- Kaji riwayat penyakit kulit yang pernah diderita, apakah gejala yang timbul sekarang merupakan lanjutan dari penyakit kulit yang pernah diderita sebelumnya.
- Kaji apakah ada riwayat kelainan sistem imun terutama imunoglobulin G.
- Kaji penggunaan obat-obat yang dapat menimbulkan pemfigus seperti penicilinamin dan katropil.
- Kaji apakah ada gangguan keseimbangan cairan dan hipoalbuminemia.
- Kaji status kesehatan keluarga, apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama, kebersihan dalam keluarga, personal hygiene dan sanitasi lingkungan dalam upaya pencegahan terhadap infeksi sekunder.
- Kaji tingkat kecemasan klien serta kemampuan koping sehubungan dengan penampilan kulit dan tidak adanya harapan kesembuhan.

B. DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemerikasaan fisik, beberapa diagnosa keperawatan yang bisa muncul :
1. Nyeri pada rongga mulut dan kulit yang berhubungan dengan pembentukan bula serta erosi.
2. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan ruptura bula dan daerah kulit yang terbuka (terkelupas).
3. Ansietas dan kemampuan koping tidak efektif yang berhubungan dengan penampilan kulit dan tidak adanya harapan bagi kesembuhan.

C. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
1. Nyeri pada rongga mulut dan kulit yang berhubungan dengan pembentukan bula serta erosi.
Hasil yang diharapkan :
- Keluhan nyeri hilang.
- Terkontrolnya rasa sakit.
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu.
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan , komplikasi.
b. Berikan perawatan oral
Rasional : Ulserasi mungkin menyebabkan ketidaknyamanan yang sangat.
c. Kaji membran mukosa
Rasional : catat seluruh lesi oral, perhatikan keluhan nyeri, bengkak, sulit mengunyah, lesi membran mukosa oral menyebabkan rasa sakit dan sulit mengunyah.
d. Berikan perawatan oral setiap hari dan setelah makan. Gunakan sikat gigi halus, pasta gigi non abrasif, obat pencuci mulut non alkohol.
Rasional : Mengurangi rasa tidak nyaman, meningkatkan rasa sehat dan mencegah pembentukan asam yang dikaitkan dengan partikel makanan yang tertinggal.
e. Cuci lesi mukosa oral dan menggunakan hidrogen peroksida / salin / larutan soda nue.
Rasional : Mengurangi penyebaran lesi dan frustasi dari pemfigus dan meningkatkan kenyamanan.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ruptura bula dan daerah kulit yang terbuka (terkelupas).
Hasil yang diharapkan :
Kerusakan integritas kulit dapat dicegah , menunjukkan kemajuan pada luka/penyembuhan pada lesi.
Intervensi :
a. Kaji kulit setiap hari catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan hygiene kulit misalnya mandi kulit dikeringkan dengan hati-hati, ditaburi bedak yang tidak iritatif.
Rasional : Kulit yang kotor dapat menjadi sumber infeksi sekunder pada pecahan bula.
c. Beri kompres basah dan sejuk / terapi rendaman pada kulit.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi untuk pemberian analgetik sebelum perawatan kulit dilakukan.
Rasional : Untuk mengurangi rsa nyeri.
3. Ansietas dan kemampuan koping tidak efektif berhubungan dengan penampilan kulit dan tidak adanya harapan bagi kesembuhan.
Hasil yang diharapkan :
- Kecemasan pada pasien berkurang.
- Pasien mempunyai harapan untuk sembuh serta kooperatif dalam menentukan serta pelaksanaan prosedur keperawatan.
Intervensi :
a. Jamin pasien tentang kerahasiaan penyakitnya dalam batasan situasi tertentu.
Rasional : Memberikan penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan bagi pasien untuk memecahkan masalah pada situai yang diantisipasi.
b. Berikan informasi akurat dan konsisten mengenai prognosis. Hindari argumentasi mengenai persepsi pasien terhadap situasi tersebut.
Rasional : Dapat mengurangi ansietas dan ketidakmampuan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan realita.
c. Waspada terhadap tanda-tanda penolakan / depresi.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan penampilan kulit, tidak ada harapan untuk sembuh.
d. Dukung pasien untuk mengekspresikan perasaannya sehubungan dengan kondisinya sekarang.
Rasional : Membantu pasien untuk merasa diterima dengan kondisinya sekarang tanpa perasaan dikucilkan sehingga mampu menerima keadaannya dengan realita.
e. Berikan informasi yang tepat, dapat dipercaya dan konsisten juga dukungan untuk orang terdekat.
Rasional: Menciptakan interaksi interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa takut.
f. Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan keputusan bersifat mayor.
Rasional : Menjamin adanya sistem pendukung bagi pasien dan memberikan kesempatan orang terdekat untuk berpartisipasi dalam pengobatan klien.

D. EVALUASI
Hasil yang diharapkan :
1. Mencapai peredaan nyeri pada lesi oral :
a. Mengidentifikasi terapi yang meredakan rasa nyeri.
b. Menggunakan obat kumur mulut dan semprotan aerosol mulut yang mengandung larutan antiseptik , anestetik.
c. Minum cairan yang dingin dengan interval 2 jam sekali.
2. Mencapai kesembuhan kulit
a. Menyatakan tujuan rejimen terapi.
b. Bekerja sama dalam menjalani rejimen terapi rendaman / mandi.
c. Mengingatkan petugas kesehatan untuk menaburkan bedak noriritatif dalam jumlah yang bebas pada seprei tempat mandi.
3. Mengalami pengurangan perasaan cemas dan peningkatan kemampuan untuk mengatasi masalah (kemampuan koping)
a. Mengutarakan dengan kata-kata keprihatinan pasien terhadap keadaannya, dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain.
b. Turut berpartisipasi dalam perawatan mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzanno. (2001). Buku Ajar KMB . Brunner&Suddart. Edisi 8. vol.3. EGC : Jakarta
2. http://www.medicastore.com/






Askep Jantung Rematik

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK


I. DEFINISI
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.

II. ETIOLOGI
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.

Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

III. PATOGENESIS
Demam reumatik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi streptococcus golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi patologik jantung, pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala demam reumatik bermanifestasi kira-kira 1 – 5 minggu setelah terkena infeksi. Gejala awal, seperti juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal yang paling sering dijumpai (75 %) adalah arthritis. Bentuk poliarthritis yang bermigrasi. Gejala dapat digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan dapat berkembang secara bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain. Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.
ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Patologi anatomis
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferasi jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit, paru, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel. Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.

IV. MANIFESTASI KLINIK
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium.
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A.
Keluhan :
Demam
Batuk
Rasa sakit waktu menelan
Muntah
Diare
Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
Demam yang tinggi
lesu
Anoreksia
Lekas tersinggung
Berat badan menurun
Kelihatan pucat
Epistaksis
Athralgia
Rasa sakit disekitar sendi
Sakit perut

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium darah
Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi

V. DIAGNOSIS PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa demam reumatik dapat digunakan Kriteria Jones yaitu :
Kriteria mayor :
Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar; lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan , siku (poliarthritis migrans).
Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
Eritema marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.
Noduli subkutan
Terletak pada ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.
Korea sydenham
Gerakkan yang tidak disengaja /gerakkan yang abnormal, sebagai manifestasi peradangan pada sistem syaraf pusat.

Kriteria Minor :
Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik
Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
Leukositosis
Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
C-Reaktif Protein (CRF) positif
P-R interval memanjang
Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
Bukti-bukti infeksi streptococcus :
Kultur positif
Ruam skarlatina
Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan medis adalah :
Memberantas infeksi streptococcus
Mencegah komplikasi karditis
Mengurangi rasa sakit; demam
Pemberantasan infeksi streptococcus :
Pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis :
Berat badan lebih dari 30 kg  1,2 juta unit
Berat badan kurang dari 30 kg  600.000 - 900.000 unit
Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian selama kurang lebih 10 hari.
Pencegahan komplikasi karditis :
Pemberian penisilin benzatin setiap satu kali sebulan untuk pencegahan sekunder menurut The American Asosiation
Tirah baring bertujuan untuk mengurangi komplikasi karditis dan mengurangi beban kerja jantung pada saat serangan akut demam reumatik
Bila pasien ada tanda-tanda gagal jantung maka diberikan terapi digitalis 0,04 – 0,06 mg/kg BB.
Mengurangi rasa sakit dan anti radang :
Pasien diberi analgetik untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Salisilat diberikan untuk anti radang dengan dosis 100 mg/kg BB/hari selama kurang lebih dan 25 mg/kg BB/hari selama satu bulan.
Prednison diberikan selama kurang lebih dua minggu dan tapering off (dikurangi bertahap) Dosis awal prednison 2 mg/kg BB/hari.
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.













ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK


A. PENGKAJIAN
Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data tentang :
Fungsi jantung
Toleransi terhadap aktivitas dan sikap klien terhadap pembatasan aktivitas
Status nutrisi
Tingkat ketidaknyamanan
Gangguan tidur
Kemampuan klien mengatasi masalah
Hal-hal yang dapat membantu klien
Pengetahuan orang tua dan pasien (sesuai usia pasien) tentang pemahaman pasien
Pengkajian
Riwayat penyakit
Monitor komplikasi jantung
Auskultasi jantung; bunyi jantung melemah dengan irama derap diastole
Tanda-tanda vital
Kaji adanya nyeri
Kaji adanya peradangan sendi
Kaji adanya lesi pada kulit

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan stenosis katub
Tujuan : COP meningkat
Kriteria :
- Klien menunjukan penurunan dyspnea
- Ikut berpartisipasi dalam aktivitas serta mendemonstrasikan peningkatan toleransi

Intervensi :
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿspÿÿmÿÿÿÿÿÿÿÿilvl1ÿÿ ÿÿ38Pantau tekananÿÿarah, nadi apikal dan nadi perifer
Pantau irama dan frekuensi jantung
Tirah baring posisi semifowler 450
dorong klien melakukan tehnik managemen stress ( lingkungan tenang, meditasi )
bantu aktivitas klien sesuai indikasi bila klien mampu
kolaborasi O2 serta terapi

2. Intoleransi aktivitas b.d penurunan cardiac output, ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
Tujuan : Klien dapat bertoleransi secara optimal terhadap aktivitas
Kriteria :
- Respon verbal kelelahan berkurang
- Melakukan aktivitas sesuai batas kemampuannya ( denyut nadi aktivitas tidak boleh lebih dari 90X/menit, tidak nyeri dada )
Intervensi :
a. Hemat energi klien selama masa akut
b. Pertahankan tirah baring sampai hasil laborat dan status klinis membaik
c. Sejalan dengan semakin baiknya keadaan, pantau peningkatan bertahap pada tingkat aktivitas
d. Buat jadwal aktivitas dan istirahat
e. Ajarkan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kebutuhan sehai-hari
f. Ajarkan pada anak /orang tua bahwa pergerakkan yang tidak disadari adalah dihubungkan dengan korea dan temporer.
g. Bila terjadi chorea, lindungi dari kecelakaan, bedrest dan berikan sedasi sesuai program

3. Nyeri b.d respon inflamasi pada sendi (poliarthritis).
Tujuan : tidak terjadi rasa nyeri pada klien
Kriteria :
- Nyeri klien berkurang
- Klien tampak rileks
- Ekspresi wajah tidak tegang
- Klien dapat merasakan nyaman, tidur dengan tenang dan tidak merasa sakit
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala
b. Berikan tindakan kenyamanan ( perubahan posisi sering lingkungan tenang, pijatan pungung dan tehnik manajemen stress)
c. Minimalkan pergerakkan untuk mengurangi rasa sakit
d. Berikan terapi hangat dan dingin pada sendi yang sakit
e. Lakukan distraksi misalnya : tehnik relaksasi dan hayalan
f. Pemberian analgetik, anti peradangan dan antipiretik sesuai program.
g. Rujuk ke terapi fisik sesuai persetujun medik

4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, rasa sakit waktu menelan dan peradangan pada tonsil disertai eksudat.
Tujuan : tidak terjadi penurunan nutrisi pada klien
Kriteria :
- Nafsu makan klien bertambah
- Klien tidak merasa mual, muntah
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
a. Beri makan sedikit tapi sering (termasuk cairan)
b. Masukkan makanan kesukaan anak dalam diet
c. Anjurkan untuk makan sendiri, bila mungkin (kelemahan otot dapat membuat keterbatasan)
d. Memilih makanan dari daftar menu
e. Atur makanan secara menarik diatas nampan
f. Atur jadwal pemberian makanan
g. Berikan makanan yang bergizi tinggi dan berkualitas.

5. kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya filtrasi glomerulus, retensi natrium dan air, meningkatnya tekanan hidrostatik
Tujuan : volume cairan seimbang
Kriteria :
- Volume cairan stabil, dengan keseimbangan masukan dan pengeluarn
- Tidak terdapat odema
Intervensi :
- Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna
- Pantau keseimbanagn masukan dan pengeluaran selama 24 jam
- Berikan makanan yang mudah dicerna porsi kecil, sering
- Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi
- Kolaborasi pemberian diuretik

6. Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
- Frekuensi nafas dan kedalaman dalam rentang normal
Intervensi :
- Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada, catat pernafasan/upaya pernafasan
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bunyi nafas
- Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
- Kolaborasi terapi O2
-
7. Kurangnya pengetahuan orang tua / anak b.d pengobatan, pembatasan aktivitas, resiko komplikasi jantung.
Tujuan : pengetahuan orang tua /anak bertambah
Kriteria :
- Orang tua mengetahui tentang proses penyakit dan efek dari penyakit
- Orang tua mau berpartisipasi dalam program pengobatan
- Orang tua mengetahui pentingnya pembatasan aktifitas pada anak
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung untuk mengetahui adanya perubahan irama
b. Pemberian antibiotik sesuai program
c. Pembatasan aktivitas sampai manifestasi klinis demam reumatik tidak ada dan berikan periode istirahat
d. Berikan terapi bermain yang sesuai dan tidak membuat lelah.

8. Perubahan proses keluarga b.d kondisi penyakit anak.
Tujuan :
- Mempersiapkan keluarga untuk dapat merawat anak dengan penyakit demam reumatik / jantung reumatik
- Keluarga dapat beradaptasi dengan penyakitnya
Kriteria :
Keluarga dapat mengatasi masalah yang timbul dari adanya tanda dan gejala yang muncul dan memberikan atau menyediakan lingkungan yang sesuai dengan anak.
Intervensi :
a. Berikan dukungan emosional pada keluarga dan anak
b. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya
c. Anjurkan anak untuk berbagi rasa tidak berdaya, malu, ketakutan yang berkaitan dengan manifestasi penyakit (misal: korea, karditis dan kelemahan otot)
d. Bertindak sebagai pembela dan penghubung anak dan keluarga dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya
e. Anjurkan anak untuk berhubungan dengan teman sebaya
f. Dorong keterlibatan anak dalam aktivitas rekreasi dan aktivitas pengalih yang sesuai dengan usia.

Askep Trauma Mekanik Mata

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MEKANIK MATA


Trauma mekanik pada mata sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak-anak dan orang dewasa muda. Pada kelompok inilah trauma pada mata sering terjadi (50%) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA).
Meskipun mata telah mendapat perlindungan dari rongga orbita, rima orbita, alis, tulang pipi dan hidung, lemak orbita, reflex mengedip, bulu mata, sekresi kelenjar kelopak mata dan konjungtiva, juga dengan telah dibuatnya macam-macam alat untuk melindungi mata, tetapi frekwensi kecelakaan masih tinggi. Terlebih - lebih dengan bertambah banyaknya kawasan industri, kecelakaan akibat pekerjaan bertambah banyak pula, juga dengan bertambah ramainya lalu lintas, kecelakaan di jalan raya bertambah pula, belum terhitung kecelakaan akibat perkelahian, yang juga mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan mata biasanya terjadi akibat main panahan, ketepel, senapan angin atau akibat lemparan, tusukan dari gagang mainan.
Sebaiknya bila ada trauma mekanik mata segera dilakukan pemeriksaan dan pertolongan karena kemungkinan fungsi penglihatan masih dapat dipertahankan. Adapun pemeriksaan - pemeriksaan yang diperlukan :
1. Anamnesa
Kapan, dimana, ada saksi atau tidak, bagaimana visus sebelum trauma, penderita memakai kacamata atau tidak, kalau memakai kacamata pecah atau tidak,apakah ada benda asing masuk pada mata atau tidak.
2. Status Lokalis
Dilakukan pemeriksaan pada setiap jaringan mata secara teliti dan cermat serta keadaan sekitar mata.
Trauma mekanik pada mata dibedakan ada 2 macam yaitu :
1). Trauma mekanik tumpul
2). Trauma mekanik tajam.

I. TRAUMA MEKANIK TUMPUL
Gelombang tekanan akibat trauma menyebabkann tekanan yang sangat tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata. Tekanan dalan bola mata ini akan menyebar antara cairan vitreus dan sclera yang tidak elastis. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada perbedaan elastisitas, misal daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum zinni dan corpus ciliaris.
Respon jaringan akibat trauma menimbulkan : 1). Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan menyebabkan kromatolisis sel. 2). Reaksi Pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka terjadi edema. 3). Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan pada cornea, sclera dan sebagainya.

A. Palpebra
1. Perdarahan di palpebra = ecchymosis, black eye
Pada perdarahan hebat, palpebra menjadi bengkak dan berwarna kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus, perdarahan ini dapat menjalar ke jaringan lain di muka, juga dapat menyeberang melalui pangkal hidung ke mata yang lain menimbulkan hematom kacamata (bril hematom) atau menjalar ke belakang menyebabkan eksofthalmos. Bila ecchymosisi tampak segera sesudah trauma, menunjukkan bahwa traumanya hebat, oleh karenanya harus dilakukan pemeriksaan seksama dari bagian mata yang lainnya. Juga perlu pemeriksaan foto rontgen tengkorak.
Bila tak terdapat kelainan mata lainnya dapat diberikan kompres dingin dan 24 jam kemudian kompres hangat untuk mempercepat resorpsi, disamping obat koagulansia. Bila perdarahan timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktura dari dasar tengkorak. Dari waktu antara trauma terjadi sampai timbulnya ecchymosis dapat diketahui kurang lebih letak fraktura tesebut. Kalau perdarahannya timbul 3 - 4 hari setelah trauma, maka frakturanya terletak di belakang sekali.

2. Emfisema palpebra
Menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga timbul hubungan langsung antara ruang orbita denga ruangan hidung atau sinus- sinus sekeliling orbita. Sering mengenai lamina papyricea os ethmoidalis, yang merupakan dinding medial dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.
Pengobatan : berikan balutan yang kuat untuk mempercepat hilangnya udara dari palpebra dan dinasehatkan jangan bersin atau membuang ingus karena dapat memperhebat emfisemanya. Kemudian disusul dengan pengobatan dari frakturanya.

3. Luka laserasi di palpebra
Bila luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera dijahit, tetapi bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang steril. Bila pembengkakannya telah berkurang, baru dijahit. Jangan membuang banyak jaringan, bila tidak perlu. Bila luka hebat, sehingga perlu skingraft, yang dapat diambil dari kulit retroaurikuler, brachial dan supraklavikuler.

4. Ptosis
Kausa : - parese atau paralise m. palpebra superior (N. III.)
- pseudoptosis, oleh karena edema palpebra
Bila ptosisnya setelah 6 bulan pengobatan denga kortikosteroid dan neurotropik tetap tak menunjukka perbaikan, mak dilakukan operasi.

B. Konjungtiva
1. Perdarahan subkonjungtiva
Tampak sebagai bercak merah muda atau tua, besar, kecil tanpa atau dsertai peradangan mata.
Pengobatannya, simptomatis dengan Sulfazinci, antibiotika bila taku terkena infeksi. Perdarahannya sendiri dapat diabsorbsi dalam 1 – 2 minggu, yang dapat dipercepat dengan pemberian kompres hangat selam 10 menit setiap kali. Kompres hangat jangan diberikan pada hari pertama, karena dapat memperhebat perdarahannya, pada waktu ini sebaiknya diberikan kompres dingin.

2. Edema
Bila masif dan terletak sentral dapat mengganggu visus. Kondisi ini dapat diatasi dengan jalan reposisi konjungtiva atau menusuk konjungtiva sehingga terjadi jalan untuk mengurangi edema tersebut. Dapat juga dibantu dengan cairan saline yang hipertonik untuk mempercepat penyerapan.

3. Laserasi
Bila laserasi sedikit ( <> 1 cm dijahit dan diberikan antibiotika.

C. Kornea
1. Erosi Kornea
Bila pennderita mengeluh nyeri, photofobi, epifora, blefarospasme, perlu kita lakukan pemeriksaan pengecatan fluorescein. Bila (+) berarti sebagian kornea tampak hijau yang berarti ada suatu lesi atau erosi kornea. Pengobatan dengan bebat mata dan diharapkan 1 - 2 hari terjadi penyembuhan. Bila erosi luas maka perlu tambahan antibiotika.
2. Edema Kornea
Dapat berupa edema yang datar atau edema yang melipat dan menekuk ke dalam masuk ke membran bowman dan descemet. Pengobatan dengan bebat mata dan antibiotika, kadang-kadang diperlukan lensa kontak untuk melindungi kornea pada fase penyembuhan.

D. Bilik Mata Depan
1. Hifema
Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar. Merupakan keadaan yang gawat. Sebainya dirawat, Karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat daripada perdaran primer, yang biasanya timbul hari kelima setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap, sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam bilik mata depan, dapat menghambat aliran aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimnbulkan galukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk ke dalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan pada hifema adalah : glaucoma sekunder, uveitis dan hemosiderosis atau imbibisio kornea. Hifema dapat sedikit dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokuler normal. Perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan, dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit oleh glaukomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh bilik mata depan rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena tekanan intraokulernya bertambah pula.
Pengobatan: Harus masuk rumah sakit. Istirahat ditempat tidur dengan elevasi kepala 30 – 45 derajat. Kepala difiksasi dengan bantal pasir dikedua sisi, supaya tak bergerak. Keadaan ini harus dipertahankan minimal 5 hari. Pada anak-anak mungkin harus diikat tangan dan kakinya ditempat tidur. Kedua mata ditutup, atau dapat pula mata yang sakit saja yang ditutup. Beri salep mata, koagulansia. Bila terisi darah segar, berikan antifibrinolitik, supaya bekuan darah tak terlalu cepat diserap, untuk memberi kesempatan pembuluh darah menyembuh, supaya tak terjadi perdarahan sekunder. Pemberiannya tak boleh melewati 1 minggu, karena dapat mengganggu aliran humor aquos, menimbulkan glaucoma dan imbibisio kornea. Dapat diberikan 4 kali 250 mg transamic acid. Selama dirawat yang perlu dipehatikan adlah hifema penuh atau tidak, tekanan intraokuler naik atau tidak, fundus terlihat atau tidak.Hifema yang penuh dengan kenaika intra okuler, perlu pemberian diamox, gliserin yang harus dinilai dalam 24 jam. Jika tekanan intraokuler tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, dilakukan parasentese. Jika tekanan menjadi normal, diamox tetap diberikan dan dinilai setiap hari. Bila tekanan ini tetap normal dan darah masih terdapat sampai hari ke 5 – 9,dilakukan parasentese. Bila terdapat glaukoma yang tak dapat dikontol dengan cara diatas, maka dilakukan iridenkleisis, dengan merobek iris, yang kemudian diselipkan diantara insisi korneo skleral, sehingga pupil tampak sebagai lubang kunci yang terbalik.

E. Iris
1. Iridoplegi
Merupakan kelumpuhan otot sfinter pupil sehingga pupil menjadi midriasis. Iridoplegi ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfinter dan pemberian roboransia.

2. Iridodialisis
Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak kepinggir letaknya, pada pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris tempat iridodialisa. Pada pemerisaan oftalmoskop terdapat warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan reflek fundus.Pengobatan dapat dicoba dengan midriatika, sehingga pupil menjadi lebar dan menekan pada akarnya. Istirahat ditempat tidur. Mata ditutup. Bila menimbulkan diplopia, dilakukan reposisi, dimana iris dikaitkan pada sclera.

F. Pupil
1. Midriasis
Disebabkan iriodoplegi, akibat parese serabut saraf yang mengurus otot sfingter pupil. Iridoplegi ini dapat terjadi temporer 2 – 3 minggu, dapat juga permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu ini mata terasa silau. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

G. Lensa
1. Dislokasi Lensa
Dislokasi lensa terjadi karena ruptura dari zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat kedepan dapat pula ke belakang. Bila tak menimbulkan penyulit glaucoma atau uveitis, dibiarkan saja, dengan memberi koreksi keadaan refraksinya. Baru dilakukan ekstraksi lensa bila kemudian timbul penyulit glaucoma, uveitis dan katarak, setelah glaucoma dan uveitisnya diredakan dahulu.

2. Katarak Traumatika
Katarak ini timbul karena gangguan nutrisi. Ada macam-macam katarak traumatika yaitu vosius ring, berbentuk roset(bintang), dengan kapsula lensa yang keriput. Pengobatan tergantung saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia dapat dipasang lensa intraokuler primer atau sekunder. Pada katarak trauma bila tidak terjadi penyulit dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaucoma, uveitis dan lai sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa.

H. Badan Kaca
1. Perdarahan Badan Kaca
Darah berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat perdarahan didalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi, untuk mengetahui keadaan dibagian posterior mata.
Pengobatan dapat diberikan koagulansia per oral atau parenteral disamping istirahat di tempat tidur. Tindakan operatif vitrektomi, baru dilakukan bila setelah 6 bulan dilakukan pengobatan, masih terdapat kekeruhan, untuk memperbaiki tajam penglihatan.

I. Retina
1. Edema Retina
Edema retina biasanya didaerah polus posterior dekat macula atau di perifer. Tampak retina dilapisi susu. Bila terjadi di macula, visus sentral terganggu dengan skotoma sentralis. Dengan istirahat, edema dapat diserap dan refleks fovea tampak kembali. Untuk mempercepat penyerapan dapat disuntikkan kortison subkonjungtiva 0,5 cc 2 kali seminggu.

2. Ruptura Retina
Robekan pada retina menyebabkan ablasi retina = retinal detachment. Umumnya robekan berupa huruf V didapatkan di daerah temporal atas. Melalui robekan ini, cairan badan kaca masuk ke celah potensial di antara sel epitel pigmen dan lapisan batang dan kerucut, sehingga visus dapat menurun, lapang pandang mengecil, yang sering berakhir kebutaan, bila terdapat ablasi total.
Pengobatan harus dilakukan segera, dimana prinsipnya dilakukan pengeluaran cairan subretina, koagulasi ruptura dengan diatermi.

3. Perdarahan Retina
Dapat timbul bila trauma tumpul menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk perdarahan tergantung lokalisasinya. Bila terdapat dilapisan serabut saraf tampak sebagai bulu ayam, bila tampak lebih keluar tampak sebagai bercak yang berbatas tegas, perdarahan di depan retina mempunyai permukaan yang datar di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan penglihatannya, kalau banyak masuk kedalam badan kaca dapat menutup jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.
Pengobatan dengan istirahat di tempat tidur, istirahat mata, di beri koagulansia, bila masuk ke badan kaca diobati sebagai perdarahan badan kaca.

J. Sklera
1. Robekan Sklera
Kalau robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak di bagian atas.

K. Nervus Optikus
1. Avulsi Papil saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan.Penderita ini perlu dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

2. Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik.
Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Pengobatan adalah dengan merawat penderita pada waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.

K. Enoftalmus
Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon yang menyelubungi bola mata di luar sclera atau disebabkan fraktura dasar orbita. Oleh karena itu harus dibuat foto rontgen dari tulang tengkorak. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama masih terdapat edema. Gejalanya : penderita merasa sakit, mual, terdapat diplopi pada pergerakan mata keatas dan ke bawah. Saraf infra orbita sering rusak dan penderita mengeluh anesthesia pada kelopak mata atas dan ginggiva.
Pengobatan : operasi, dimana dasar orbita dijembatani dengan graft tulang kartilago atau badan aloplastik.

L. Eksoftalmos
Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber berasal dari A. Oftalmika beserta cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur perdarahan diserap kembali, juga diber koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan souffles, berarti ada aneurisma antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus.
Pengobatan : pengikatan pada a. karotis sisi yang sama.
II. TRAUMA MEKANIK TAJAM
Pada trauma mekanik tajam ada baiknya diberi anestesi lokal, supaya pemeriksaan dapat dilakukan dengan teliti dan pada luka-luka yang hebat, yang dapat menimbulkan prolaps dari isi bola mata. Serum antitetanus harus diberikan pada setiap luka akibat benda tajam.

A. Palpebra
Kalau pinggiran palpebra luka dan tak diperbaiki, dapat menimbulkan koloboma palpebra akwisita. Bila besar dapat akibatkan kerusakan kornea oleh karena mata tak dapat menutup dengan sempurna. Oleh karena itu tindakan harus dilakukan secepatnya. Kalau tidak kotor dapat ditunggu sampai 24 jam. Pada tindakan tersebut harus diperbaiki kontinuitas margo palpebra dan kedudukan bulu mata. Jangan sampai menimbulkan trikiasis. Bila robekan mengenai margo inferior bagian nasal, dapat memotong kanalikuli lakrimal inferior, sehingga air mata tak dapat melalui jalan yang seharusnya dan mengakibatkan epifora. Rekanalisasi dapat dikerjakan secepatnya, bila ditunggu 1 –2 hari sukar untuk mencari ujung-ujunng kanalikuli tersebut.

B. Konjungtiva
1. Perdarahan
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
2. Robekan
Bila kurang dari 1 cm tidak dijahit, diberikan anestesi lokal. Bila lebih dari 1 cm dijahit denga benang cut gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap jahitan. Diberikan antibiotika lokal selam 5 hari dan bebat mata untuk 1 - 2 hari.

C. Kornea
1. Erosi Kornea
Penatalaksanaan seperti rudapaksa tumpul.
2. Luka Tembus Kornea
Dari anamnesa didapatkan teraba nyeri, epifora, photofobi dan blefarospasme. Pada pemeriksaan didapat tes fluorescein (+).
Pengobatan: tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan dijahit. Jaringa intraokuler yang keluar dari luka, missal: badan kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan dalam bolamata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel melalui bekas jahitan. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang terdekat. Tindakan ini dapat dianggap dapat mempercepat epitelialisasi. Diberikan antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva. Atropin tetes 0,5 – 1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah cukup lebar. Bila ada tanda-tanda glaucoma sekunder dapat diberikan tablet. Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat diberika bila perlu.

3. Ulkus Kornea
Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi sekunder. Dari anamnesa teraba nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan nampak kornea yang edema dan keruh dan tes flurescein (+).
Pengobatan dapat diberikan antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjuntiva, scraping atau pembersihan jaringan nekrotik secara hati-hati bagian dari ulkus yang nampak kotor, aplikasi panas, cryo terapi.

D. Sklera
1. Luka Terbuka atau Tembus
Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva nampak jaringan hitam (koroid).
Pengobatan: sama dengan luka tembus pada kornea. Bila luka sangat besar dan diragukan bahwa mata tersebut masih dapat berfungsi untuk melihat, maka sebaiknya dienukleasi untuk menghindarkan timbulnya oftalmia simpatika pada mata yang sehat.

E. Badan Siliar
1. Luka pada Badan Siliar
Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan terbesar dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis, yang dapat berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Oleh karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps isi bola mata sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya dilakukan enukleasi bulbi supaya mata yang sehat masih tetap baik.

F. Bilik Mata Depan
Penatalaksanaan sama denga trauma tumpul.

G. Iris
1. Iritis
Sering akibat dari trauma. Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan didapatkan pupil miosis, reflek pupil menurun dan sinekia posterior.
Pengobatan dapat diberikan Atropin tetes 0,5 – 1% 1 - 2 kali selama sinekia belum lepas dan antibiotika. Diberikan diamox bila ada komplikasi glaukoma.

H. Lensa
1. Dislokasi Lensa
Penatalaksanaan sama dengan trauma mekanik tumpul.
2. Katarak
Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

I. Segmen Posterior
Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.

J. Luka dengan Benda Asing (Corpus Alienum)
Pemeriksaan yang teliti secara sistimatis sangat diperlukan untuk dapat menentukan adanya, macamnya, lokalisasi dari benda tersebut.
1. Anamnese :
Terutama pada penderita yang bekerja di perusahaan, dimana benda logam memegang peranan. Harus ditanyakan apa pekerjaannya dan benda asing apakah kiranya yang masuk ke dalam mata.
2. Pemeriksaan :
Benda asing tersebut harus dicari secara teliti maemakai penerangan yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca diman perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi, foto rontgen, ultrasonografi, pemerisaan dengan magnet, dan coronal CT Scan. MRI merupakan kontra indikasi untuk benda logam yang mengandung magnet.
Benda asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa kelompok:
1. Benda logam, seperti emas, perak, platina, timah hitam, besi tembaga.
Terbagi menjadi benda logam magnit dan bukan magnit.
2. Benda bukan logam, seperti batu, kaca, bahan tumbuh-tumbuhan, bahan pakaian.
3. Benda inert, yaitu benda yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan reaksi jaringan mata, kalau terjadi reaksipun hanya ringan saja dan tidak mengganggu fungsi mata. Contoh: emas, platina batu, kaca, dan porselin.
4. Benda reaktif : terdiri dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata sehingga mengganggu fungsi mata. Contoh : timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga, bulu ulat.
Pengobatan yaitu dengan mengeluarkan benda asing tersebut. Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal.Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul atau tajam.Arah pengambilan adalah dari tengah ke tepi.Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable atau giant magnet. Kemudian diberi antibiotika lokal, sikloplegik dan mata dibebat. Pecahan besi yan terletak di iris, dapat dikeluarkan dengan dibuat insisi di limbus, melalui luka ini ujaung dari magnit dimasukkan untuk menarik benda tersebut, bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi dari iris yang mengandung benda asing tersebut. Pecahan besi yang terletak di dalam bilik mata depan dapat dikeluarkan dengan magnit pula seperti pada iris. Bila letaknya di lensa juga dapat ditarik denga magnit, sesudah dibuat sayatan di limbus kornea, jika tidak berhasil dapat dilakukan pengeluaran lensa denga cara ekstraksi linier pada orang muda dan ekstraksi ekstra kapsuler atau intrakapsuler pada orang yang lebih tua. Bila lokalisasinya di dalam badan kaca dapat dilakukan pengeluaran dengan magnit raksasa, setelah dibuat sayatan dari skera. Bila tidak berhasil atau benda asing itu tidak magnetik dapat dikeluarkan dengan opersai viterektomi. Bila benda asing itu tidak dapat diambil harus dilakukan enukleasi bulbi untuk mencegah timbulnya oftalmia simpatika pada mata sebelahnya.

PENUTUP :
Trauma mekanik mata merupakan keadaan darurat mata, karena dapat terjadi bermacam-macam kerusakan yang bila tidak segera mendapat pertolongan dapat mengakibatkan penurunan fungsi mata atau berakhir dengan kebutaan.
Oleh karena itu alangkah baiknya kelak sebagai dokter umum juga waspada akan akibat rudapaksa ini dan segera menanggulanginya, mana yang dapat diobati sendiri dan mana yang harus dirujuk.
DAFTAR PUSTAKA

Nana Wijana : Ilmu Penyakit Mata, pp 312 – 323

Vaughn D et all : General Ophthalmology, Lange Medical Publication, 14th ed, 1989, pp 356 – 363

Sidarta Ilyas : Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 266 – 278


Photobucket