Jumat, 31 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Kardiomiopati Kongestif (Dilated Cardiomyopathy)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KARDIOMIOPATI KONGESTIF (DILATED CARDIOMYOPATHY)



A. PENGERTIAN
Kardiomiopati adalah penyakit yang mengenai miokardium seara primer dan bukan sebagai akibat dari hipertensi, kelainan kongenital, katub, koroner, arterial dan perikardial (Lili Imudiarti Rilantono, dkk, 2001, hal 249).
Cardiomiopati kongestif disebut juga dengan nama Dilated Cardiomyopathy (A.H Markum, dkk, hal 615). Bentuk kardiomiopati ini digolongkan berdasarkan patologi, fisiologi dan tanda klinisnya. Penyakit ini ditandai dengan adanya dilatasi atau pembesaran rongga ventrikel bersama dengan adanya penipisan dinding otot, pembesaran atrium kiri dan stasis darah dalam ventrikel. (Susanne, C Smelzer, 2002, hal 833)

B. ETIOLOGI
Laporan Gugus Tugas WHO/ISFC tentang defisiensi dan klasifikasi kardiomiopati tahun 1980, berdasarkan etiologinya digolongkan menjadi 2 macam yaitu:
1. Tipe primer: terdiri dari penyakit otot yang tidak diketahui penyebabnya.
a. Idiopatik
b. Familial
2. Tipe sekunder : terdiri dari penyakit otot jantung dengan sebab yang diketahui atau berhubungan dengan penyakit yang mengenai sisitem organ lain.
a. Infektif
Miokarditis virus
Miokarditis bakteri
Miokarditis jamur
Miokarditis protozoa
Miokarditis metazoa
b. Metabolik
c. Penyakit familial
Penyakit glikogen
Mukopolisakaridosis
d. Defisiensi
Elektrolit
Nutrisi
e. Kelainan jaringan ikat
Lupus eritematosis sistemik
Poliartritis nodusa
Arthritis reumatoid
Skleroderma
Dermatomiositis
f. Infiltrasi dan granuloma
Amiloidosis
Sarkoidosis
Keganasan
Hematokromatosis
g. Neuromuskular
Distrofi otot
Distrofi miotonik
Ataksia friedriech
Penyakit refsom
h. Reaksi toksik dan sensitifitas
Alkohol
Radiasi
Obat
i. Penyakit jantung peripartum
Kehamilan multipara
Usia lebih 30 tahun
(Lili Imudiarti Rilantono, dkk, 2001, hal 249).

C. PATHWAYS



D. MANIFESTASI KLINIK
Sesak napas
Lemah
Orthopnea
Dyspnea paroksimal nocturnal
Edema perifer
Palpitasi
Nyeri dada ( yang tidak khas bisa timbul)
Angina pectoris ( jika penyakit korner menyertainya)
(Lili Imudiarti Rilantono, dkk, 2001, hal 251)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen
Menunjukkan pembesaran jantung sedang-besar
Hipertensi vena pulmonalis
2. EKG : menunjukkan kelainan ST-T
3. Ekokardiogram : berkesan dilatasi dan disfungsi ventrikel kiri
4. Radionuklir : menunjukkan dilatasi dan disfungsi ventrikel kiri ( RVG = ; ventrikulogram radionuklid ; TI = thaliun 201)
5. Kateterisasi jantung
Dilatasi dan disfungsi ventrikel kiri dan kanan
Curah jantung menurun
6. Angiografi : berkesan ventrikel kiri hipokinetik difus serta dilatasi, sering disertai dengan regurgitasi mitral
7. Biopsi Endomiokard transvenus
Digunakan pada kondisi seperti infiltrasi miokard oleh amiloid
Berkesan inflamasi sel bundar miokardium
(Lili Imudiarti Rilantono, dkk, 2001, hal 250-251)

F. PENATALAKSANAAN
1. Tirah baring (terutama untuk penyebab yang tidak diketahui)
2. Menghindari aktivitas jasmani yang berat
3. Medikamentosa:
Anti koagulan untuk embolisasi sistemik
Kardiotonika seperti: amrinaon dan milrinon untuk menambah perbaikan klinik
Kortikosteroid untuk antiinflamasi
Antiaritmia untuk aritmia yang serius atau simtomatis.
4. Tranplantasi jantung, harus dipertimbangkan dan dilakukan bila tidak ada kontra indikasi terhadap prosedur tersebut
(Lili Imudiarti Rilantono, dkk, 2001, hal 251)

G. KOMPLIKASI
Gagal jantung

(Susanne, C Smelzer, 2002, hal 835)

H. FOKUS PENGKAJIAN

WAWANCARA
1. Keluhan utama (chief complaint)  alasan datang
2. Keluhan dan keterangan tambahan (present illness)
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat keluarga
5. Riwayat sosio ekonomi

PEMERIKSAAN FISIK

KU: usia, kesadaran dan keadaan emosi kenyamanan, distress, sikap dan tingkah laku klien.
Tanda- tanda vital
1. Pernafasan
frekuensi: bradipnea?, takipnea?
Keteraturan: reguler?, irreguler?
(cheyne stoke, asmatik?)
amplitudo
2. Nadi
frekuensi
regularitas
amplitudo: besarnya isi sekuncup
bentuk/ contour
isi (volume)
perabaan arteri keadaan dinding arteri
Pada tingkat lanjut tekanan nadi kecil
3. Tekanan darah
nilai normal bergantung: umur, jenis kelamin
Nilai rata- rata sistolik: 110-140 mmHg
Diastolik: 80-90 mmHg
4. Suhu badan
Metabolisme menurun, suhu menurun

Head to toe examination
1. Kepala
2. Mata: konjungtiva: anemia?
sklera, ikterus?
3. Mulut: tanda infeksi?
4. Kuping
5. Muka; ekspresi, anemia?
6. Leher: KGB? Tekanan vena jugularis externa meningkat
7. Dada: deformitas?gerakan dada?
8. Pemerikasaan perut: asites?perabaan hati dan limpa?
9. Ekstremitas
Lengan- tangan:refleks. Warna dan tekstur kulit, edema, clubbing
bandingkan arteri radialis kiri dan kanan




Pemeriksaan Khusus Jantung
1. Inspeksi
Mid Sternal line
Mid clavikular line
Anterior aksilar line
Para sternal line
2. Palpasi Jantung
Pulsasi ventrikel kiri
Pulsasi ventrikel kanan
Getar jantung
Didapatkan adanya berbagai tingkat pembesaran jantung.
3. Auskultasi
Biasanya terdengar bunyi jantung ketiga dan keempat . Juga dapat timbul bising diastolik.

Benigna Prostat Hipertropi

BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI


A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

D. PATHWAYS KEPERAWATAN































Sumber: (Mansjoer A, 2000. hal: 329)
(Poernomo, 2000. hal: 74 -76)
E. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b. Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3. Terapi bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi terbuka
4. Terapi invasif minimal
a. TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c. High Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi jarum trans uretra
e. Stent Prostat
H. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1) pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan alat-alat bantu
3) penggunaan obat-obatan.
d. Pola Aktivitas
1) pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan gerak
3) alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
1) Pola tidur dan istirahat
2) Persepsi, kualitas, kuantitas
3) Penggunaan obat-obatan.
f. Pola Kognitif – Perseptual
1) Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan bahasa
3) Kemampuan membuat keputusan
4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1) Body image
2) Identitas diri
3) Harga diri
4) Peran diri
5) Ideal diri.
h. Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1) Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah keluarga dan masyarakat
3) Peran tanggung jawab.
i. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1) Penyebab stress
2) Kemampuan mengendalikan stress
3) Pengetahuan tentang toleransi stress
4) Tingkat toleransi stress
5) Strategi menghadapi stress.
j. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1) Masalah seksual
2) Pendidikan seksual.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1) Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi dalam kesehariannya.
2. Fokus Intervensi
a. Perubahan eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi mekanikal; bekuan darah, trauma, prosedur bedah tekanan dan iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
Kriteria hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Rencana intervensi:
1) Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional : Retensi bisa terjadi karena oedema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas
Rasional : Kateter biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena oedema urethral dan kehilangan tonus.
4) Dorong masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas
Rasional : Mengurangi resiko bekuan akibat adanya perdarahan sekunder, pemasangan kateter, mengevakuasi residu urine akibat sumbatan bekuan darah.
5) Kolaborasi: pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode paska operasi dini
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah untuk mempertahankan patensi dan aliran kateter.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah; kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana intervensi:
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2) Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
3) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi warna dan konsistensi urine
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Inspeksi balutan atau luka drain
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
6) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaporesis, membran mukosa kering dan pucat
Rasional : Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7) Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode pemasangan dan pengendoran traksi
Rasional : Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol perdarahan.


9) Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi
Rasional : Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko perdarahan rectal perineal.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah
Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.
3) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal)
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi
d. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Rencana intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10)
Rasional : Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung kemih.
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan dan lekukan
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko distensi dan spasme kandung kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik relaksasi
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
4) Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional : Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
e. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit (Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat, protein, vitamin dan mineral.
Rencana intervensi:
1) Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional : Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses penyembuhan luka.
2) Pantau status hipermetabolisme
Rasional : Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3) Evaluasi kemungkinan penyebab mual
Rasional : Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4) Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung
Rasional : Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat meningkatkan nafsu makan yang baik.
5) Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional : Variasi jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang mengakibatkan ketidakcukupan masukan peroral.
6) Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan
Rasional : Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7) Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional : Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f. Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil:
Eliminasi efektif pasca operasi
Rencana intervensi:
1) Kaji bising usus
Rasional : Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2) Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi
Rasional : Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3) Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus akibat kurang residu.
4) Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan pemberian laxatif
Rasional : Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
g. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis, inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1) Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien
Rasional : Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan hipertropi dapat berulang.
4) Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
h. Kurang perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000, hal 324)
Kriteria hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana intervensi:
1) Kaji faktor penyebab dan penyulit
Rasional : Mencari penyebab kurang perawatan diri menentukan jenis bantuan yang diberikan pada pasien
2) Tingkatkan partisipasi optimal
Rasional : Keterlibatan pasien dalam merawat dirinya sendiri meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3) Bantu dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional : Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4) Berikan reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai selama aktivitas
Rasional : Memberikan rasa percaya diri dan memberikan harga diri
5) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional : Partisipasi yang maksimal dapat dievaluasi sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
i. Kurang pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi prognosis, kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000, hal 684)
Kriteria hasil:
1) Menyatakan pemahaman prosedur bedah
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan
Rencana intervensi:
1) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2) Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-buahan, meningkatkan diit tinggi serat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca operasi
3) Diskusikan pembatasan aktivitas
Rasional : Peningkatan tekanan abdominal yang menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat menimbulkan resiko perdarahan
4) Berikan gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Rasional : Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang berdasarkan pada kebutuhan informasi dari pasien.
5) Instruksikan perawatan lanjut atau kontrol
Rasional : Tindak lanjut untuk perawatan luka, pengangkatan jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi lukanya.

Asuhan Keperawatan Bronkopneumonia

ASUHAN KEPERAWATAN
BRONKOPNEUMONIA


1. Definisi
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru-paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi. (Price, 1995)
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. (Zul, 2001)
Bronkopneumonia digunakan unutk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001).

2. Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001) :
a. Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis.
Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
b. Berdasarkan faktor lingkungan
Pneumonia komunitas
Pneumonia nosokomial
Pneumonia rekurens
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun
Pneumonia hipostatik
c. Berdasarkan sindrom klinis
Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.
Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella.

Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) :
a. Community Acquired Pneunomia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia Streptococal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
b. Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme seperti ini aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab hospital acquired pneumonia.
c. Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
d. Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme perusak.

3. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001)

4. Pathways
Terlampir

5. Manifestasi Klinis
a. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
Nyeri pleuritik
Nafas dangkal dan mendengkur
Takipnea
b. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
Mengecil, kemudian menjadi hilang
Krekels, ronki, egofoni
c. Gerakan dada tidak simetris
d. Menggigil dan demam 38,8  C sampai 41,1C, delirium
e. Diafoesis
f. Anoreksia
g. Malaise
h. Batuk kental, produktif
Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat
i. Gelisah
j. Sianosis
Area sirkumoral
Dasar kuku kebiruan
k. Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
b. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
c. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
d. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
e. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
f. LED : meningkat
g. Pemeriksaan fungsi paru : volume ungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
h. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
i. Bilirubin : mungkin meningkat
j. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 1999)



7. Penatalaksanaan
a. Terapi oksigen jika pasien mengalami pertukaran gas yang tidak adekuat. Ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika nilai normal GDA tidak dapat dipertahankan
b. Blok saraf interkostal untuk mengurangi nyeri
c. Pada pneumonia aspirasi bersihkan jalan nafas yang tersumbat
d. Perbaiki hipotensi pada pneumonia aspirasi dengan penggantian volume cairan
e. Terapi antimikrobial berdasarkan kultur dan sensitivitas
f. Supresan batuk jika batuk bersifat nonproduktif
g. Analgesik untuk mengurangi nyeri pleuritik

8. Pengkajian
h. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
i. Sirkulasi
Gejala : riwayat gagal jantung kronis
Tanda : takikardi, penampilan keperanan atau pucat

j. Integritas Ego
Gejala : banyak stressor, masalah finansial
k. Makanan / Cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
Tanda : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor
buruk, penampilan malnutrusi
l. Neurosensori
Gejala : sakit kepala dengan frontal
Tanda : perubahan mental
m. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : sakit kepala nyeri dada meningkat dan batuk myalgia, atralgia
n. Pernafasan
Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
Tanda : sputum ; merah muda, berkarat atau purulen
Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural
Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas Bronkial
Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Warna : pucat atau sianosis bibir / kuku
o. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun, demam
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubeda / varisela
p. Penyuluhan
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis



II. Diagnosa keperawatan dan intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
Inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatan produksi sputum
Nyeri pleuritik
Penurunan energi, kelemahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Perubahan frekuensi kedalaman pernafasan
Bunyi nafas tak normal, penggunaan otot aksesori
Dispnea, sianosis
Bentuk efektif / tidak efektif dengan / tanpa produksi sputum
Kriteria Hasil :
Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas
Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnea atau sianosis
Intervensi :
Mandiri
Kali frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada
Auskultasi paru catat area penurunan / tak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
Penghisapan sesuai indikasi
Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
Kolaborasi
Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain
Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspetoran, bronkodilator, analgesik
Berikan cairan tambahan
Awasi seri sinar X dada, GDA, nadi oksimetri
Bantu bronkoskopi / torakosintesis bila diindikasikan
2. Kerusakan pertukaran gas dapat dihubungkan dengan
Perubahan membran alveolar – kapiler (efek inflamasi)
Gangguan kapasitas oksigen darah
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Dispnea, sianosis
Takikandi
Gelisah / perubahan mental
Hipoksia
Kriteria Hasil :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan
Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen
Intervensi :
Mandiri
Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku
Kaji status mental
Awasi status jantung / irama
Awasi suhu tubuh, sesui indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil
Pertahankan istirahat tidur
Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif
Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah / perasaan.
Kolaborasi
Berikan terapi oksigen dengan benar
Awasi GDA
3. Pola nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
Proses inflamasi
Penurunan complience paru
Nyeri
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Dispnea, takipnea
Penggunaan otot aksesori
Perubahan kedalaman nafas
GDA abnormal
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pola pernafasan normal / efektif dengan GDA dalam rentang normal
Intervensi :
Mandiri
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
Auskultasi bunyi nafas
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Observasi pola batuk dan karakter sekret
Dorong / bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif
Kolaborasi
Berikan Oksigen tambahan
Awasi GDA

4. Peningkatan suhu tubuh
Dapat dihubungkan : proses infeksi
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Demam, penampilan kemerahan
Menggigil, takikandi
Kriteria Hasil :
Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
Tidak menggigil
Nadi normal
Intervensi :
Mandiri
Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
Pantau warna kulit
Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik
Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari
5. Resiko tinggi penyebaran infeksi
Dapat dihubungkan dengan :
Ketidakadekuatan pertahanan utama
Tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Tidak dapat diterapkan tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual
Kriteria Hasil :
Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi
Intervensi :
Mandiri
Pantau TTV
Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
Ubah posisi dengan sering
Batasi pengunjung sesuai indikasi
Lakukan isolasi pencegahan sesuai individu
Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
Kolaborasi
Berikan antimikrobal sesuai indikasi
6. Intoleran aktivitas
Dapat dihubungkan dengan
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Kelemahan, kelelahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Laporan verbal kelemahan, kelelahan dan keletihan
Dispnea, takipnea
Takikandi
Pucat / sianosis
Kriteria Hasil :
Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal
Intervensi :
Mandiri
Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan


7. Nyeri
Dapat dihubungkan dengan :
Inflamasi parenkim paru
Reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin
Batuk menetap
Kemungkinan dibuktikan dengan :
Nyeri dada
Sakit kepala, nyeri sendi
Melindungi area yang sakit
Perilaku distraksi, gelisah
Kriteria Hasil :
Menyebabkan nyeri hilang / terkontrol
Menunjukkan rileks, istirahat / tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat
Intervensi :
Mandiri
Tentukan karakteristik nyeri
Pantau TTV
Ajarkan teknik relaksasi
Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
8. Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Dapat dihubungkan dengan :
Peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi
Anoreksia distensi abdomen
Kriteria Hasil :
Menunjukkan peningkatan nafsu makan
Berat badan stabil atau meningkat
Intervensi :
Mandiri
Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
Auskultasi bunyi usus
Berikan makan porsi kecil dan sering
Evaluasi status nutrisi

9. Resti kekurangan volume cairan
Faktor resiko :
Kehilangan cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi, muntah)
Kriteria Hasil :
Balance cairan seimbang
Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler cepat
Intervensi :
Mandiri
Kaji perubahan TTV
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa
Catat laporan mual / muntah
Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
Hitung keseimbangan cairan
Asupan cairan minimal 2500 / hari
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi ; antipirotik, antiametik
Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan



10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan
Dapat dihubungkan dengan :
Kurang terpajan informasi
Kurang mengingat
Kesalahan interpretasi
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Permintaan informasi
Pernyataan kesalahan konsep
Kesalahan mengulang
Kriteria Hasil :
Menyatakan permahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan
Melakukan perubahan pola hidup
Intervensi
Mandiri
Kaji fungsi normal paru
Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan
Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal
Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif
Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.




DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilynn.(2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.
2. Smeltzer, Suzanne C.(2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I, Jakarta : EGC
3. Zul Dahlan.(2000). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
4. Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.
5. Lackman’s (1996). Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company.
6. Nettina, Sandra M.(2001).Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC
7. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
8. Pasiyan Rahmatullah.(1999), Geriatri : Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Editor : R. Boedhi Darmoso dan Hadi Martono, Jakarta, Balai Penerbit FKUI

Photobucket